Akhir – akhir ini pemberitaan di jagad media dibanjiri dengan beberapa kasus kriminalitas yang terjadi di lingkungan pendidikan, diantaranya pembunuhan yang dilakukan oleh seorang mahasiswa senior yang sedang menempuh kuliah di UI (Universitas Indonesia) kepada juniornya yang berinisial MNZ (19 tahun) yang dibunuh dengan sadis dan dibungkus dengan plastik sampah di kamar kos korban di Kawasan Kukusan, Beji, Kota Depok, Jumat (4/8/2023).
Jika ditelisik berdasarkan laporan Wakasat Reskrim Polres Metro Depok tersangka membunuh korban karena mengaku memiliki utang untuk menutupi kekalahannya lantaran bermain kripto karena mengalami kerugian hingga mencapai Rp 80 Juta.
Mengurai permasalahan ini bahwasannya bukanlah kali pertama terjadi ditengah-tengah kita melainkan sudah kesekian kalinya, sehingga patut direnungkan apa yang salah dari sepak terjang pendidikan di Indonesia yang makin hari makin keliatan gagalnya dalam mencetak generasi yang tidak berprikemanusiaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pengamat kebijakan pendidikan Noor Afeefa sendiri menilai kasus ini adalah sebagai cerminan lalainya negara dalam membentuk jati diri insan pelajar. “Pembunuhan mahasiswa UI merupakan cermin kelalaian negara yang kehadirannya demi politik pendidikan sekuler Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM),” ucapnya kepada News, Senin (7-8-2023).
Ironisnya lagi kita sedang berada ditengah gebyarnya implementasi MBKM yang diklaim memberikan pengalaman kehidupan kampus yang lebih baik kepada mahasiswa. Namun, demikian faktanya, bukannya kurikulum didesain untuk memudahkan para mahasiswa memiliki pegangan yang fundamental di tengah situasi keterpurukan sistem kehidupan yang kian kuat, nyatanya kampus lebih berorientasi pada dunia kerja (kebutuhan dunia industri), sehingga tak berdaya bila terkait biaya dan beban hidup mahasiswa yang begitu berat dihadapi.
Realitas kurikulum MBKM sesungguhnya tidak mampu membentuk mahasiswa untuk memahami cara hidup yang benar dengan standar yang manusiawi dan nilai-nilai spiritual-moral. Mereka hanya dibentuk bagaimana mengasah skill dan potensi yang nantinya bisa diberdayakan dalam bursa industri atau pasar kerja alhasil aktivitas keseharian pun tidak lari jauh dari yang diharapkan kurikulum MBKM tersebut.
Mereka senang berburu berbagai kenikmatan dunia yang dipikir menyenangkan seperti Bermain kripto, mengakses pinjol, kongko kongko, berburu hiburan malam sampai meraih harta dengan segala cara, bahkan sampai tega membunuh dan merampas harta korban. Ini bukanlah cerminan karakter baik seorang mahasiswa. Belum lagi, betapa banyak mahasiswa saat ini tak punya kerangka pemahaman halal haram. Ini karena MBKM memang dibuat dalam skema pendidikan sekuler, yakni memisahkan agama dari kehidupan.
Kekuatan akidah pun amat minim dimiliki untuk menghadapi kerasnya kehidupan, sebagaimana pengakuan pelaku, bahwa dirinya kalap, tidak berdaya menghadapi beratnya beban, bukan karena dendam pada korban. Mengejutkan lagi pelaku sempat memberi kesempatan kepada korban untuk membunuhnya agar sama-sama mati. Sungguh mental seperti ini amat parah dan rusak sebab tidak hanya membahayakan diri sendiri, tetapi juga orang lain.
Disamping itu pembunuhan mahasiswa UI terhadap juniornya ini menambah catatan buruk wajah dunia pendidikan tinggi. Walaupun terlihat kasuistik, namun peristiwa keji ini nyata terjadi di tengah lingkungan kampus atau lingkup dunia pendidikan. Sebelumnya pun telah terjadi pembunuhan atau mutilasi mahasiswa UMY.
Betapa dunia pendidikan kita saat ini sudah sangat rawan dari perilaku kriminalitas, para orang tua dan keluarga merasa takut dan bertambah was-was untuk menyekolahkan anak anaknya. Sebegitu parahkah ancaman dunia mahasiswa sehingga nyawa tampak begitu murah. Sebagaimana diberitakan, orang tua korban, baik mahasiswa UI maupun UMY, berharap agar para pelaku dihukum mati.
Hal ini menunjukkan kepiluan yang amat mendalam atas berbagai peristiwa nahas itu. Peristiwa ini pun layak menjadi perhatian penuh negara, sebab pelaku merupakan mahasiswa UI, salah satu perguruan tinggi paling bergengsi di Indonesia, terlebih kehidupan di kota besar memang menuntut biaya hidup tinggi selain uang kuliah, ada uang makan, kontrakan, juga kebutuhan lainnya belum lagi gaya hidup flexing dan hura hura yang menghiasi tren di wilayah metropolitan tersebut.
Kehidupan yang timpang hari ini pun kian dirasakan gejolaknya oleh para mahasiswa terutama karena naiknya biaya kuliah (UKT) dan tentu saja biaya hidup yang makin tinggi akibat inflasi berulang, Bahkan dirilis oleh BPS bahwa biaya pendidikan menjadi salah satu penyumbang inflasi di awal tahun ajaran baru ini, yakni Juli sampai September.
Kerapuhan sendi-sendi ekonomi telah menunjukkan betapa bahayanya kapitalisme yang kian kuat dirasakan masyarakat. Apatah lagi bicara kemampuan mahasiswa, khususnya dari sisi mental, untuk menghadapi beratnya beban hidup tidak dikuatkan dalam sistem pendidikan saat ini, maka berbagai tindakan keji bisa saja dilakukan, mulai dari yang sedang hingga sadisme.
Oleh karena itu, ini tidak terjadi begitu saja melainkan menempuhnya melalui tahapan proses panjang. Negara wajib bertanggung jawab penuh atas berjalannya proses pendidikan selama berlangsung. Ini karena pendidikan dalam semua jenjang haruslah ditujukan untuk terbentuknya manusia yang berkarakter mulia uakni berkepribadian Islam yang mampu menjalani kehidupan ini sesuai aturan Sang pencipta sehingga mampu memakmurkan bumi ini dengan semua keahlian yang dimilikinya.
Sayangnya, ruh ini tak usung dalam MBKM. Oleh karenanya, layak dikatakan peristiwa ini sebagai salah satu bukti negara lalai dan salah total dalam merumuskan peta pendidikan Indonesia.
Negara juga seharusnya memudahkan setiap mahasiswa memperoleh hak pendidikan tinggi karena merupakan amanat UUD 1945 yang tertuang dalam pasal 31 ayat 1 dan 2 yang mengatur tentang kewajiban dan hak warga negara Indonesia dalam pendidikan, serta kewajiban pemerintah di bidang pendidikan dasar dan sistem pendidikan, dan anggaran pendidikan nasional.
Sehingga negara seharusnya mengambil langkah perbaikan mulai dari meringankan biaya kuliah, bahkan kalau bisa gratis, termasuk biaya hidupnya. Negara juga harus merancang kurikulum sahih yang memperkuat syakhsiyah Islam sehingga mahasiswa mampu menyelesaikan problem hidupnya sesuai syariat.
Namun sayang tugas negara yang demikian sulit dan mustahil diemban oleh negara hari ini sebab watak kapitalistik yang sekuler begitu amat kuat menancap sehingga hanya bisa terlaksana bila sistemnya menjalankan syariat Islam kafah. Oleh karenanya, seharusnya kita bersegera mewujudkan tegaknya dinul Islam sebagai peradaban yang siap menjalankan Syariat Allah SWT. (**)
Penulis : Zahra Riyanti