RAKYATMU.COM – Siluet senja menerobos seisi ruangan penginapan milik SN, oknum pegawai Kantor Wilayah Kementerian Agama Halmahera Tengah (Halteng), Maluku Utara. Jelang malam, empat orang wanita muda berdandan menor dan berpakaian seksi duduk santai di ruang tamu penginapan.
“Baru nyampe bang? Sendiri?,” tanya seorang wanita berusia sekitar 20 tahun dengan dialeg Jawa kepada Rakyatmu, saat menginap di penginapan tersebut, Sabtu (1/2/2025). Wanita berparas ayu dengan rambut terurai itu mengenakan kaos tipis dan celana pendek hitam ketat sebatas paha.
Penginapan yang terdapat puluhan kamar berukuran 3 x 4 itu terletak di Desa Nurweda, Kecamatan Weda, Halteng. Rakyatmu menetap di penginapan itu selama empat hari dengan tarif Rp 120.000 per malam, untuk memastikan informasi terkait dugaan praktik prostitusi di daerah berjuluk Fagogoru itu.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Suasana ruangan tampak lenggang diterangi cahaya temaram. Hanya satu-dua wanita yang sesekali keluar kamar mengambil air minum dari gelon yang tersedia di beranda. Tak berselang lama, sejumlah pria satu demi satu datang ke penginapan. Mereka memulai obrolan singkat hingga beranjak ke kamar bersama wanita.
“Penginapan itu (menyebut nama penginapan) orang (pegawai) Depag (departemen agama) punya. Kalau sudah masuk waktu malam mereka ada semua itu,” ungkap Adi–bukan nama sebenarnya–salah satu karyawan perusahaan tambang nikel di Weda Tengah kepada Rakyatmu. Adi menetap di indekos yang tak jauh dari penginapan itu.
Adi menyebut, banyak penginapan dan indekos di wilayah Halteng yang kerap dimanfaatkan untuk praktik prostitusi. Bahkan, salah satu cafe di kawasan Nusliko milik pensiunan aparatur sipil negara, menjadi tempat mangkal para pekerja seks komersial (PSK).
“Kemarin ada satu orang yang ditemukan positif HIV (human immunodeficiency virus) di situ (cafe di kawasan Nusliko),” ungkap Koordinator Surveilans dan Imunisasi Penanggung Jawab Program HIV/AIDS dan Penyakit Infeksi Menular Seks Dinas Kesehatan (Dinkes) Halmahera Tengah, Irwan Halek kepada Rakyatmu, Kamis (6/2/2025).
Irwan tak menampik jika hampir sebagian besar pemilik penginapan, indekos, maupun cafe yang tersebar di wilayah Weda hingga Weda Tengah, diduga terlibat dalam bisnis esek-esek. Karena pemiliknya terkesan membiarkan praktik seperti itu. “Jadi Halteng ini tempat lokalisasinya tersebar banyak,” katanya.
Hadir saat Pekerja Terima Gaji

Tingginya mobilitas penduduk hingga menjamurnya penginapan, indekos, dan cafe di wilayah lingkar tambang membuat dinkes kewalahan. Saat melakukan screening di Desa Lelilef Woebulan dan Lelilef Sawai, Weda Tengah, hanya tiga penginapan yang berhasil disasar.
“Kami tidak mampu jangkau semua dan karena di tanggal tua jadi sasaran yang kami dapat kecil,” kata Irwan.
Irwan menilai, screening yang dilaksanakan bersama pihak kepolisian di wilayah Lelilef jelang akhir bulan tahun lalu kurang tepat. Mestinya dilakukan saat para karyawan menerima gaji. “Momennya itu dari tanggal 1 sampai 15. Kalau sudah di atas tanggal 15 mereka menghilang,” jelasnya.
Dua desa yang berbatasan langsung dengan kawasan industri pengolahan nikel PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) itu, ditetapkan sebagai kampung siaga HIV/AIDS pada November 2024. Penetapan itu bertujuan menekan angka kasus. “Dua desa itu paling rentan dan punya populasi yang potensial,” katanya.
Menurut Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Polres Halteng, Ipda Ramli Soleman, Lelilef menjadi wilayah konsentrasi para PSK beroperasi. Kehadiran mereka mulai terlihat di awal bulan dan baru menghilang di atas tanggal 15. “Karyawan ini kan uangnya di tanggal 15 itu masih ada,” katanya.
Sementara itu, akses masuk para PSK ke Halteng melalui jalur darat. Tapi kedatangan mereka tidak secara rombongan. “Kebanyakan mereka masuk satu-satu, jadi kami mau amankan juga agak ribet,” katanya. Meski begitu, Ramli menilai para PSK tersebut bukan sindikat. “Rata-rata mereka datang sendiri.”
Pola yang digunakan para PSK adalah menggunakan aplikasi Michat. Ini cukup menyulitkan petugas untuk melacak. “Karena dia tinggal sampaikan ‘saya di penginapan ini’. Jadi datanglah tamu itu,” katanya. Sementara, para pemilik penginapan menganggap pria yang datang hanya sekadar tamu. “Beberapa kali kami periksa itu, mereka bilang tamu.”
Ramli menegaskan, jika ada PSK yang tergolong masih di bawah umur, akan diproses. Tapi rata-rata yang berhasil diamankan berusia dewasa. “Kalau dewasa kita bina dan telepon orang tuanya, dan orang tuanya wajib datang atau utus orang untuk jemput, itu yang kami terapkan selama ini,” katanya.
Namun keberadaan PSK di wilayah Lelilef, kata Ramli, tidak berlangsung lama. Karena rata-rata biaya penginapan tergolong mahal. Mulai dari Rp 350.000 – Rp 400.000 perhari. “Kalau perhari Rp 350.000, berarti satu bulan sudah Rp 9 juta. Tapi yang memilih bertahan itu mungkin karena tamunya banyak.”
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Halteng, Sahabuddin Karim mengatakan, umumnya para PSK yang berhasil dirazia berasal dari luar wilayah Halteng. Mulai dari Halmahera Utara, Halmahera Selatan, hingga Jawa dan Sulawesi.
“Nanti di tanggal muda baru mereka datang. Mereka datang itu nginap. Ada juga yang menetap, tapi tidak banyak,” katanya.
Tarifnya, kata Sahabuddin, bervariasi. Mulai dari Rp 350.000, Rp 500.000, Rp 700.000 hingga Rp 1.000.000. Tergantung kesepakatan kedua pihak. “Kemarin waktu kami amankan dua pria asal China itu, si perempuan punya keterangan itu satu bilang (dibayar) Rp 500.000, yang satunya lagi bilang Rp 800.000,” katanya.
Dalam pengalamannya saat merazia, banyak ditemukan pasangan bukan suami istri yang menetap di indekos. “Mereka berhubungan suami istri,” kata Sahabuddin. Situasi ini, kata dia, mulai dirasakan jauh sebelum kehadiran perusahaan tambang. “Tapi tidak seramai sekarang setelah perusahaan hadir.”
Bahkan penginapan milik oknum pegawai Kanwil Kemenag yang ditempati Rakyatmu, dihuni oleh salah satu wanita asal Manado, Sulawesi Utara dengan kondisi hamil. “Kemungkinan usia kehamilannya sudah 5 bulan, dan laki-laki yang bersama dia itu bukan suaminya,” ungkapnya.
Sahabuddin menilai, situasi seperti itu jauh lebih parah di wilayah yang berdekatan langsung dengan kawasan industri pertambangan. “Weda saja seperti itu, apalagi di Lelilef sana. Bagaimana tidak selingkuh, satu indekos banyak kamar baku tetangga. Ketika suami pergi kerja, kalau istrinya ini saling suka dengan suami orang, bisa terjerumus. Itu yang terjadi,” bebernya.
Tak Ada Lembaga yang Membina Setelah Terjaring Razia
Satpol PP pada 2023 cukup intens melakukan razia. Dalam sepekan, bisa satu hingga dua kali razia. Hanya saja, tidak ada lembaga yang siap membina mereka yang berhasil diamankan. “Jadi dibawa ke Polres untuk ditindaklanjuti, karena kita tidak tahu mau dibawa ke mana,” katanya.
Tapi beberapa hari kemudian, kata Sahabuddin, petugas kembali menemukan orang yang sempat terjaring razia. “Masih dengan orang yang sama dan rata-rata banyak perempuan-perempuan di bawah umur,” keluh Sahabuddin.
Selain itu, dalam menangani penyakit masyarakat, respons orang tua ketika anaknya kedapatan nongkrong di cafe hingga larut malam serta beberapa cafe yang diduga dibacking oknum polisi, turut mempengaruhi semangat petugas. “Semangat hilang karena kami tidak dapat dukungan, tapi malah ancaman,” katanya.
Irwan menyebut tidak semua indekos, penginapan, dan cafe dapat dijangkau oleh tim penanganan HIV. Karena selalu berhadapan dengan pemilik yang tidak koperatif. “Rekan-rekan di lapangan terkendala dengan pemiliknya,” katanya.
Tapi saat ini ada regulasi yang mendukung kerja-kerja tim di lapangan. Mulai dari Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2018, yang ditandatangani oleh mantan bupati Edy Langkara. Kemudian Peraturan Bupati Nomor 78 tahun 2024 yang ditandatangani oleh Pj bupati Bahri Sudirman.
“Regulasi itu menjadi payung hukum untuk teman-teman turun di lapangan, termasuk juga undang-undang kesehatan. Jadi barang siapa yang menghalang-halangi itu bisa dipidana, tidak usah takut,” pungkasnya.
Menanggapi hal itu, Ramli mengaku yakin tidak ada oknum polisi yang melakukan backingan. Kalaupun ada laporan disertai bukti yang kuat, maka pihaknya akan menindak. “Yang jelas kalau ketahuan (ada oknum yang ikut membacking) pasti diproses,” tegasnya.
Sedangkan terkait tindak pidana perdagangan orang (TPPO), ada instruksi langsung dari Kapolri soal itu. “Instruksi Kapolri harus diproses,” katanya. Sebagai upaya pencegahan, pihaknya juga melaksanakan operasi penyakit masyarakat (pekat). “Itu setiap triwulan.”
Dalam operasi pekat di akhir 2024, pihaknya sempat mengamankan beberapa pasangan bukan suami istri. Mereka dibawa ke polres untuk dibina. “Langkah itu yang kita ambil selama ini. Kalau TPPO langsung dari penyidik untuk dilakukan penyelidikan,” pungkasnya.
Persoalan indekos, penginapan, hingga cafe menurut Ramli, adalah kewenangan pemda. Menurutnya, jika ada pelanggaran maka pemda berhak mencabut izinnya. “Bukan kewenangan kepolisian. Jadi kalau memang melanggar, cabut izinnya,” imbuhnya.
Ledakan Kasus di Tengah Lonjakan Penduduk

Kepala Dinas Kesehatan Halteng, Lutfi Djafar mengatakan, penyebab angka HIV/AIDS meningkat karena mobilitas masyarakat dari berbagai daerah cukup tinggi. Sebab, wilayah Halteng terdapat industri pertambangan yang mengakibatkan populasi penduduk juga ikut meningkat.
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Halteng mencatat, jumlah penduduk yang tersebar di 10 kecamatan mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir. Dari 57.809 jiwa pada 2021, naik menjadi 59.096 jiwa di 2022. Kemudian mengalami lonjakan secara signifikan sebesar 96.977 jiwa pada 2023.
Sejalan dengan itu, Dinkes juga mencatat, pada 2022 terdapat 12 kasus HIV yang ditemukan setelah screening. Rinciannya, RSUD Weda 9 kasus, Puskesmas Lelilef 2 kasus, dan Puskesmas Banemo 1 kasus. Kemudian pada 2023 ditemukan 36 kasus di RSUD Weda, 3 kasus di Puskesmas Lelilef, 2 kasus di klinik IWIP, dan 1 kasus di Puskesmas Banemo.
IWIP sendiri baru melakukan screening pada Oktober-Desember 2024 setelah diadvokasi secara serius oleh dinkes. “Awalnya mereka tidak mau,” kata Irwan. Hasilnya, dari 2.445 pelamar dan MCU tahunan para karyawan, ditemukan 30 kasus.
“Kemudian disusul RSUD Weda 25 kasus, Puskesmas Gemesan 4 kasus, Puskesmas Banemo 2 kasus, Puskesmas Lelilef 2 kasus, Puskesmas Sagea 1 kasus, dan Puskesmas Tepeleo 1 kasus,” jelas Irwan.
Tapi dari 30 kasus yang ditemukan di IWIP, hanya satu orang yang menjalani pengobatan. Kemudian 25 kasus di RSUD Weda, 10 orang menjalani perawatan, satu di antaranya meninggal dunia. Di Puskesmas Pulau Gebe, dari 4 kasus yang ditemukan, 2 orang menjalani pengobatan, satu di antaranya meninggal dunia.
Berlanjut di Puskesmas Banemo, dari dua kasus yang ditemukan, satu di antaranya meninggal dunia. Sedangkan satu kasus di Puskesmas Sagea, pasiennya meninggal dunia sebelum menjalani pengobatan. “Terakhir di Puskesmas Tepeleo, Kecamatan Patani Utara itu satu kasus,” katanya.
Menurut Irwan, pasien asal Banemo sempat menjalani pengobatan setelah divonis positif HIV saat mengikuti screening di IWIP. Namun ketika balik ke kampung, pasiennya memilih berdiam diri di rumah. “Saat datang di Puskesmas Banemo kondisinya sudah stadium 4, AIDS. Jadi sudah tidak bisa tertangani,” katanya.
Menurut Irwan, data pelaporan sistem informasi HIV/AIDS baru terupdate secara efektif pada 2021 – 2024. Di tahun-tahun sebelumnya belum terintegrasi dengan baik. Banyak kendala yang dialami petugas dalam sistem pelaporan. “Masih pakai manual, nanti sekarang ini baru semua layanan terlatih,” katanya.
Meskipun begitu, populasi terbanyak perwilayah baru terbaca di Puskesmas Weda, Lelilef, dan Banemo. Tapi jika dilihat secara manual, hampir semua layanan kesehatan di tingkat kecamatan hingga desa memiliki pasien HIV.
“Contoh di Pulau Gebe itu kemarin mereka laporannya ke kami 4 kasus. Tapi sekarang yang ditemukan positif itu sudah 7, satunya meninggal,” katanya.
Sedangkan Puskesmas Lelilef, kata Irwan, sempat melaporkan 1 kasus. Namun setelah dievaluasi, angka yang sebenarnya berkisar 4 – 6 kasus. “Mungkin dia belum finalkan (datanya), makanya yang terbaca di aplikasi cuma 1 kasus,” ucapnya.
Terbentur Stigma hingga Diskriminasi
Kesadaran mengenai pentingnya pemeriksaan HIV di Halteng mulai terbangun. Bahkan IWIP yang awalnya ogah diajak kerjasama melakukan screening akhirnya menerima. “Jadi total yang sudah discreening itu sebanyak 4.132 orang,” katanya.
Halteng, kata Irwan, tercatat paling tinggi angka screening-nya dibanding daerah lain. Hasil positif itu ditopang oleh IWIP yang bersedia melakukan screening. “Kita terbantu oleh IWIP dengan screening yang tinggi,” katanya.
Sayangnya, IWIP hanya sebatas pemeriksaan. Tidak pada pengobatan. “Itu masalahnya. Padahal kalau mereka mau, kita tinggal distribusi obatnya ke sana. Karena selama ini pasien TBC itu kita punya obat masuk ke sana. Tapi obat HIV mereka belum mau,” kata Irwan.
Akhirnya, para pelamar maupun karyawan yang ditemukan positif saat hasil screening keluar langsung digugurkan. “Padahal dalam undang-undang ketenagakerjaan itu mereka wajib dipekerjakan, tidak boleh diskriminasi begitu. Karena layanan itu, baik swasta maupun pemerintah wajib melakukan tes dan pengobatan,” tandas Irwan.
Irwan mengaku mendapat banyak aduan dari karyawan yang diberhentikan karena divonis positif HIV. Terutama soal kemampuan mereka secara fisik. “Mereka bilang ‘pak, kenapa kami tidak dipekerjakan, padahal kami ini sehat dan produktif,” ucap Irwan meniru keluhan pasiennya.
Bahkan perusahaan, kata Irwan, berjanji memenuhi hak para karyawan yang digugurkan saat ketahuan positif HIV. Namun setelah dikroscek, ternyata tidak terealisasi. “Katanya selama 6 bulan gajinya tetap jalan. Tapi setelah saya kroscek ke pasien, ternyata gajinya tidak jalan,” katanya.
Irwan sempat menanyakan perlakuan perusahaan terhadap karyawan yang terpapar HIV. Namun saat itu, Irwan ditanya balik oleh kepala klinik perusahaan tentang bagaimana sikapnya jika ada anggota keluarga yang terinfeksi dan berpotensi menyebarkan virus ke anggota keluarga yang lain.
“Dia alasannya begitu, jadi ini masalah managemen saja. Saya pernah bilang ke kepala kliniknya, kalau dia masuk perusahaan, dia lebih terikat dengan aturan perusahaan, dia lebih patuh minum obat dibandingan dengan di luar layanan kita,” katanya.
Menurut Irwan, jika perusahaan membuka ruang diskusi, pihaknya bisa menjelaskan secara gamblang terkait proses penularan HIV tersebut. Baginya, edukasi sangat penting dalam menekan angka penyebaran.
“Bahwa proses penularan HIV cuma bisa lewat hubungan seks, transfusi darah, jarum suntik, dan ibu menyusui ke anak. Kalau empat indikator ini dia tidak melakukan di saat bekerja, berarti dia tidak menularkan,” katanya.
Rakyatmu sempat mengkonfirmasi pihak IWIP lewat email perusahaan, termasuk salah satu karyawan yang bekerja di bidang kehumasan. Namun tak kunjung direspons hingga berita tayang.
HIV, kata Irwan, berbeda dengan TBC dan hepatitis. Dua penyakit ini, terkhusus TBC, bisa tertular saat berhadap-hadapan. Sedangkan hepatitis bisa ditularkan saat kulit saling bersentuhan. “Kalau HIV beda,” katanya.
Irwan menyebut, untuk membuka status pasien yang dinyatakan positif HIV setelah screening pun punya mekanisme tersendiri. Karena stigma hingga perlakuan diskriminasi masih sangat tinggi.
“Butuh kesiapan mental. Biasanya yang ditemukan di IWIP itu rata-rata anak muda, kadang dia psikologinya tidak labil dan malu, sehingga memilih berdiam diri di kampungnya atau indekosnya,” tuturnya.
Apalagi, lanjut Irwan, jika vonis tersebut jatuh pada ibu rumah tangga yang notabenenya tidak melakukan seks selain suaminya, lantas tiba-tiba divonis HIV. “Itu kan psikologinya terpukul luar biasa,” ucapnya.
Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Halteng, Hamka Mujuddin mengatakan pihaknya tidak bisa mengintervensi kebijakan perusahaan. Selain itu, kewenangan kabupaten sudah diambil alih oleh provinsi. “Kami hanya pelayanan kartu kuning atau kartu pencari kerja saja,” katanya.
Namun Kepala Disnakertrans Malut, Marwan Polisiri menyebut pada prinsipnya semua orang harus diberikan perlakuan yang sama. Marwan pun meminta karyawan yang merasa diperlakukan tidak adil agar melaporkan ke instansinya.
“Yang merasa (diperlakukan) tidak adil, silakan laporkan ke Disnakertrans. Akan kami tindaklanjuti, kami menunggu laporan resmi dari karyawan atau serikat,” tegas Marwan.
Waspada Perluasan Populasi Kunci ke Nonkunci

Saat ini, dinkes masih berfokus pada populasi kunci yang berpotensi menyebarkan virus HIV. Populasi kunci mencakup antara lain, wanita pekerja seks, komunitas gay, waria, laki-laki seks dengan laki-laki, pengguna narkotika suntik, ibu hamil, pasien TBC dan hepatitis, warga binaan pemasyarakatan, serta orang dengan pasangan positif.
“Mereka yang masuk populasi terkonsentrasi ini dalam setahun wajib diperiksa. Karena mereka adalah kelompok risiko yang bisa menularkan ke orang lain. Jadi kita petugas harus mencari mereka,” kata Irwan.
Tapi tidak menutup kemungkinan populasinya bisa meluas seiring tingginya mobilitas masyarakat yang masuk ke wilayah Halteng. “Ini akan mengarah ke populasi meluas kalau tidak dibarengi dengan penyuluhan, sosialisasi, dan kegiatan lain. Karena berbanding lurus dengan pencari kerja plus-plus,” katanya.
Irwan menilai, kegiatan penyuluhan dan sosialisasi harus melibatkan lintas sektor. Mustahil jika hanya berharap pada dinkes. “Kita punya tenaga di lapangan juga terbatas,” katanya.
Karena SDM yang disiapkan untuk dilatih menangani HIV hanya berjumlah 5 orang. Mereka terdiri dari satu orang dokter, satu perawat, satu petugas laboratorium, satu tenaga farmasi, dan satu bagian penginputan data. Sementara, dengan jumlah itu, beberapa di antaranya sudah tidak aktif. Bahkan sebagian dimutasi.
“Seperti di Puskesmas Messa, dokternya sudah pindah ke RSUD Weda. Begitu juga di Puskesmas Kobe, tenaga penginputan data sudah pindah. Puskesmas Weda pengelolanya diganti, begitu juga Puskesmas Damuli, orangnya diganti,” beber Irwan.
Menurut Irwan, untuk mencegah agar penularan tidak meluas, bisa dibuatkan tempat lokalisasi. “Bagusnya dibuat seperti itu,” katanya. Tapi dari sisi agama dan budaya sangat bertentangan. “Agama, adat, dan budaya tidak akan menerima,” katanya.
Strategi Dinkes Menekan Kasus
Penambahan kasus baru hingga diskriminasi yang melekat pada penderita HIV/AIDS masih menjadi tantangan. Menyadari itu, dinkes telah menyiapkan beberapa program. Mulai dari pemeriksaan, sosialisasi, edukasi, hingga pengobatan di tempat.
“Kita akan lebih genjar lagi, terutama soal stigma atau diskriminasi terhadap pasien HIV/AIDS,” kata Irwan.
Nantinya, dinkes akan mencetak banyak baliho sebagai media edukasi untuk ditempatkan di beberapa titik. Baliho itu memuat materi berupa proses penularan, cara pengobatan, tempat pemeriksaan, hingga pengertian dari HIV/AIDS itu sendiri.
“Karena HIV itu bukan aib yang harus ditakuti. Pasien HIV itu kehidupannya sama saja. Kita cuma takuti penyakitnya saja, tapi jangan takuti orangnya. Jadi jauhi penyakitnya, dekati orangnya,” tutur Irwan.
Selain itu, dinkes juga akan bekerja sama dengan kementerian agama untuk memperkuat regulasi terkait calon pasangan yang hendak menikah. Jalurnya adalah, pasangan yang sudah mengantongi surat keterangan sehat dari puskesmas harus mendapat persetujuan dari kantor urusan agama (KUA). “Dari situ KUA bisa mengeluarkan semacam rekomendasi kapan harus nikah,” katanya.
Sebab, kata Irwan, sejauh ini banyak kasus-kasus HIV yang melibatkan pasangan baru menikah. “Misalnya ketika besoknya mau menikah, hari ini pemeriksaan dan hasilnya positif, langsung batal. Ada yang setelah menikah, pada saat hamil dan diperiksa, hasil yang keluar dinyatakan positif,” imbuh Irwan.
———
Liputan ini merupakan kerja sama AJI Indonesia, Kurawal Foundation, dan Independen.id
Penulis : Nurkholis
Editor : Nurkholis