RAKYATMU.COM – Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Soasio, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, terhadap 11 orang masyarakat adat Maba Sanggaji, Halmahera Timur, memantik kritik tajam dari pegiat lingkungan Masri Santuly.
Penulis buku Kerusakan Ekologi sebuah Antologi itu, menyebut putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Soasio sebagai bentuk kapitalisme baru, yang dilakukan oleh negara terhadap warga negaranya sendiri.
“11 warga ini adalah masyarakat sipil yang memiliki hak penuh atas sumber daya alam yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat subsistensi,” ujar Masri Santuly dalam keterangannya kepada Rakyatmu.com, Kamis (23/10/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menegaskan, UUD 1945 menjamin warga negara untuk menikmati dan mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang bersih, sehat, dan layak. Hal itu termuat dalam Pasal 28H.
“Di situ secara tegas menyebut hak atas tanah dan lingkungan hidup adalah bagian dari Hak Asasi Manusia,” ujarnya.
Masri menolak keras pemidanaan terhadap masyarakat adat dan kelompok sipil yang memperjuangkan hak atas tanah dan lingkungan hidup. Menurutnya, mereka tidak bisa dipidana dengan undang-undang apapun.
“Suatu masyarakat, kelompok, dan komunitas adat yang memperjuangkan lingkungan hidup dan hak atas tanah tidak bisa dipidanakan oleh undang-undang apapun,” tegasnya.
Masri menilai, dalam konteks ini, negara dan penegak hukum telah mencederai amanat konstitusi yang tertuang dalam UUD 1945. Bahkan ini masuk kategori pembungkaman terhadap asas demokrasi.
“Masalah konflik sumber daya alam di Maluku Utara bukan hal yang baru terjadi, tapi ini adalah masalah klasik yang tidak diselesaikan oleh negara dan penegak hukum,” katanya.
Menurutnya, persoalan ini dari fase ke fase selalu mengantui warga yang tinggal di wilayah-wilayah krisis ekologis. “Dan masyarakat sipil selalu menjadi tumbal, korban dari kebiadaban korporasi, pemerintah, dan penegak hukum,” cetusnya.
Masri juga menyoroti praktik negara yang membutuhkan tanah untuk menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD), dan korporasi yang membutuhkan tanah untuk menanamkan modal investasinya.
“Dari praktik-praktik yang terjadi, nyaris tidak ada sangkut pautnya yang namanya tanah adat, tidak heran jika negara dan korporasi melakukan arogansi terhadap masyarakat sipil secara membabibuta,” ucapnya.
Ia mengkritik keras konsepsi perusahaan yang menganggap legitimasi izin dari negara sebagai hak mutlak yang tidak bisa diganggu gugat oleh pihak manapun.
“Problematika ini menurut saya sangat memilukan, dunia hukum kita di negeri ini sangat memprihatinkan. Orang yang memperjuangkan lingkungan hidup dan hak atas tanahnya dipidana,” katanya.
“Negara yang seharusnya melindungi dan mengayomi warganya, malah menjadi pembajak laut, disaster bagi warga negaranya sendiri secara langsung dan tak langsung,” ucap Masri menambahkan.
Ia menilai, hukum di Indonesia belum memandang manusia secara utuh dan mendalam. “Tetapi justru memandang manusia sebagai objek atau alat apakah memiliki nilai tambah atau tidak,” ujarnya.
Padahal, lanjut Masry, inti dari hukum adalah memanusiakan manusia, mengangkat harkat dan martabat manusia, membahagiakan, melindungi jiwa dan menciptakan rasa keadilan yang hakiki di hati warga negara.
“Berbicara hukum itu bukan sesuatu yang sifatnya teknis, tapi bersentuhan dengan nurani dan moralitas. Maka pada hakikatnya akses menuju keadilan adalah prinsip fundamental, dengan hak asasi manusia sebagai bagian prinsip utama negara hukum,” tutup Masri.
Penulis : Tim
Sumber Berita : Rilis