RAKYATMU.COM — Konsultasi publik yang digelar PT Karya Tambang Sentosa (KTS) di Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), Maluku Utara, untuk membahas rencana eksplorasi tambang nikel berakhir tanpa keputusan. Mayoritas warga menolak.
Pertemuan di Balai Desa Bobo, Obi Selatan, itu dimulai pukul 08.00 hingga 16.00 WIT. Hadir dari pihak perusahaan, Direktur Utama Sandes Tambun, Manager Eksternal Arnoldus Wea, Kepala Teknik Tambang Faisal, dan Ahli Pertambangan Jefri Siahaan.
Dari unsur pemerintah tampak Kepala Desa Bobo Zeth Jems Totononu, Ketua BPD Nandis Kurama, serta Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Halsel Nonce Totononu.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Penolakan warga bukan tanpa alasan. Sebab, ada trauma kolektif di masyarakat akibat operasi tambang di desa-desa lain di Pulau Obi. Mulai dari pencemaran air, hilangnya lahan produktif, hingga tekanan sosial terhadap warga yang menolak.
“Kita bicara soal fakta, soal hal-hal yang ada di sekitar kami, itu sudah membuat kami trauma, masyarakat sebagian besar itu trauma,” tutur Pendeta Mersye Natalia Pattipeiluhu, tokoh Gereja Protestan Maluku dan jemaat di Desa Bobo, dalam forum.
Mersye kemudian menutup dengan pernyataan yang menggugat tanggung jawab korporasi: “Bisakah itu menjamin keberlangsungan hidup kami, 5, 10, 15, sampai 20 tahun ke depan? Bagaimana nantinya kalau hal-hal yang kami bayangkan dalam pikiran kami itu terjadi?” ujarnya.
Kepala Desa Zeth Jems Totononu akhirnya menutup pertemuan dengan nada diplomatis. “Belum ada kesimpulan. Mungkin kita bisa bicarakan kembali di kemudian hari,” katanya.
Zeth kembali menyampaikan apresiasi atas partisipasi warga, namun menegaskan bahwa belum ada kesimpulan yang dapat diambil dari pertemuan itu. “Dengan kondisi ini, mungkin kita bisa bicarakan kembali di kemudian hari,” ujarnya.

Terpisah, Pendeta Esrom Lakoruhut yang merupakan Ketua Klasis Gereja Protestan Maluku (GPM) Pulau-Pulau Obi menyebut, Desa Kawasi sebagai cermin luka yang belum sembuh. Kawasi menjadi contoh nyata dampak buruk pertambangan.
“Hutan rusak, pesisir dan ruang tangkap nelayan tercemar, kebun rakyat dihancurkan, sumber mata air dirampas dan tercemar, warga mengidap berbagai penyakit baru, kekerasan serta kriminalisasi meningkat, bahkan warga dipaksa meninggalkan kampung halamannya sendiri,” tuturnya.
Menurut Esrom, tragedi ekologi dan sosial di Kawasi adalah peringatan keras bagi warga Desa Bobo. Oleh karena itu, Gerakan #SaveBobo secara tegas menolak menjadi korban berikutnya dari ekspansi tambang nikel. “Penolakan ini jelas bersifat total, tanpa syarat, dan tidak dapat dinegosiasikan,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua Gerakan #SaveBobo, Vecky Kumaniren menyebut hal-hal yang berkaitan dengan administratif hanyalah formalitas prosedural. Sebab, itu tidak menjamin perlindungan terhadap warga dan lingkungan.
“Penolakan kami berakar pada hak dasar kami untuk hidup layak di lingkungan yang sehat, sebagaimana dijamin dalam konstitusi. Maka dari itu, kami secara tegas menolak kehadiran PT KTS maupun PT IMS (Intim Mining Sentosa) di Desa Bobo,” ujarnya.
“Kami juga menyerukan kepada seluruh pihak, termasuk pemerintah pusat dan daerah, untuk menghormati hak-hak warga di Desa Bobo dan menghentikan seluruh upaya pemaksaan operasi pertambangan di wilayah kami,” imbuhnya.
Di balik nama PT KTS, Koalisi Gerakan #SaveBobo menemukan jejak korporasi yang telah lama bercokol di Pulau Obi. Dalam penelusuran mereka, KTS bukan entitas baru, melainkan bagian dari jaringan perusahaan tambang yang terhubung langsung dengan konglomerasi Harita Nickel.
Struktur kepemilikan PT KTS menunjukkan bahwa PT IMS menguasai 49% saham, PT Trimegah Bangun Persada Tbk memiliki 36%, dan PT Banyu Bumi Makmur memegang 15% saham. Ketiganya merupakan bagian dari ekosistem bisnis Harita Group, yang telah mengoperasikan tambang nikel dan smelter di berbagai wilayah di Pulau Obi.
Penulis : Tim