Zulkarnain Yoisangadji
(Pemuda Sula)
Delapan puluh tahun yang lalu ditandai suatu era baru dimana Lembaga Kejaksaan dibentuk sebagai representasi kekuasaan negara di bidang penuntutan, dengan tujuan menegakkan hukum dan menghadirkan rasa keadilan di tengah masyarakat. Lembaga ini diharapkan menjadi pilar penting dalam sistem peradilan pidana yang profesional, dan akuntabel mampu berdiri tegak sebagai penuntut umum (Dominus Litis) dan eksekutor hasil putusan pidana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kejaksaan memproklamirkan visinya sebagai lembaga penegak hukum yang bersih, efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Misinya pun tampak mulia menegakkan hukum yang berkeadilan, profesional, dan bermartabat mengoptimalkan penanganan perkara korupsi salah satu Kejahatan Luar Biasa (extraordinary crime) tanpa pandang bulu. Namun dibalik idealisme itu, publik berhak bertanya sejauh mana Kejaksaan benar-benar menjalankan perannya sebagai penjaga keadilan.
Korupsi di Indonesia ibarat virus mematikan yang menggerogoti kehidupan rakyat. Uang yang semestinya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan justru dirampas oleh tangan-tangan serakah. Dampaknya cukup fatal seperti menguras perekonomian negara, memperlambat pembangunan dan memperpanjang garis-garis kemiskinan, budaya korupsi telah menjelma menjadi kebiasaan di kalangan pejabat dan pemodal, sementara instrumen hukum sering kali dibuat tak berdaya di hadapan mereka yang memiliki kekuasaan.
Kepulauan Sula, korupsi bukan lagi kejahatan luar biasa, melainkan tradisi kekuasaan yang diwariskan tanpa malu. Dari proyek Jembatan Kali Baleha, pembangunan Masjid Desa Waigoiyofa, hingga proyek Makam Pahlawan, semuanya menyisakan aroma busuk yang belum tuntas. Kini, rakyat Sula kembali dikejutkan oleh kasus korupsi Belanja Tidak Terduga (BTT) senilai Rp28 miliar pada pengadaan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) bernilai Rp5 miliar
Kasus korupsi BTT di Kepulauan Sula kini bukan sekadar masalah hukum, melainkan panggung drama yang mencoreng marwah penegakan hukum. Pergantian Kepala Kejari Sula yang terus berulang di tengah penanganan kasus ini menimbulkan kecurigaan besar terhadap penegak hukum sedang ditegakkan, atau justru diarahkan?
Lebih ironis lagi, Kejati Maluku Utara yang konon melakukan evaluasi kinerja Kejari Sula sebelumnya, seolah terbungkam hasilnya tak pernah diumumkan ke publik. Transparansi lenyap, akuntabilitas mati, dan aroma intervensi kekuasaan begitu kuat tercium. Jika begini wajah penegakan hukum kita, maka rakyat berhak bertanya Kejaksaan bekerja untuk keadilan, atau untuk kekuasaan?
Beberapa pelaku tak lagi bisa bersembunyi Muhammad Bimbi, pejabat PPK, berhasil ditangkap dan sekarang sudah berstatus Terpidana. Sementara Direktur PT. Hab Lautan Bangsa Muhammad Yusril, turut digiring ke meja hijau dan tengah mempertanggungjawabkan perbuatannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Ternate dengan temuan 1,6 miliar. Namun pertanyaannya berapa banyak lagi yang masih bersembunyi di balik kasus korupsi BTT pada BMHP?
September 2025 lalu, terungkap fakta mengejutkan beberapa nama yang disebut ikut terlibat dalam pusaran korupsi BTT pada BMHP. Di antaranya, salah satu kontraktor yang dikenal dengan sebutan Puang Aso, oknum anggota DPRD LL, yang juga merupakan mantan Ketua Partai PBB Kepulauan Sula, oknum Ptl Kepala Dinas Kesehatan, hingga oknum Bupati Kepulauan Sula turut disebut dan diduga terlibat. Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar apakah nama-nama yang telah terungkap di persidangan perihal keterlibatan mereka itu akan benar-benar dipanggil dan dimintai pertanggungjawaban secara hukum? Pada titik inilah citra Kejari Sula dipertaruhkan dalam kasus korupsi BTT.
Fakta persidangan dengan terang membongkar keterlibatan sejumlah pihak yang selama ini seolah kebal dari jeratan hukum. Pertama, bukti percakapan WhatsApp antara oknum bernama Puang Aso dan oknum anggota DPRD berinisial LL mengungkap adanya komunikasi terkait proses pencairan anggaran BMHP. Kedua, terungkap perintah kepada Terdakwa Yusril untuk menyerahkan uang senilai Rp100 juta kepada oknum DPRD LL, agar diserahkan kepada Terdakwa Bimbi dan selanjutnya diberikan kepada oknum jaksa demi penerbitan SP3 kasus BTT Sula. Fakta ini diperkuat oleh bukti transfer uang senilai Rp5,2 miliar yang memperlihatkan aliran dana mencurigakan di balik kasus tersebut.
Keterlibatan oknum DPRD LL semakin jelas ketika bukti percakapan lain dengan Bimbi serta Puang Aso turut terungkap, membahas proses pencairan anggaran BMHP dan transfer uang Rp100 juta. Sementara itu, oknum Ptl Kepala Dinas Kesehatan juga terseret setelah persidangan menunjukkan bahwa pengadaan BMHP dilakukan tanpa prosedur resmi tanpa berita acara penyerahan, serah terima, maupun penghitungan barang. Distribusi BMHP pun tak merata sebagian besar justru menumpuk di gudang Dinas Kesehatan Kepulauan Sula.
Lebih parah lagi, AM yang kaki tangan oknum Puang Aso berperan sebagai pengendali di lapangan, mengurus seluruh proses administrasi hingga pengadaan BMHP. Ia bahkan memalsukan tanda tangan Terdakwa Yusril dalam perjanjian kontrak, mempertegas bahwa praktik korupsi ini tidak berdiri sendiri, melainkan terstruktur dan sistematis.
Dari rangkaian keterlibatan tersebut, muncul pula nama Bupati Kepulauan Sula. Dalam sidang Terdakwa Bimbi, oknum anggota DPRD LL bahkan sempat mengancam akan melaporkan Terdakwa Bimbi kepada “01” (kosong satu) yang diduga merujuk pada Bupati Kepulauan Sula apabila pencairan dan pengadaan BMHP terlambat. Fakta ini kian diperkuat dalam sidang Terdakwa Yusril, saat Jaksa Penuntut Umum Kejari Sula menunjukkan bukti percakapan antara oknum Puang Aso dan oknum DPRD LL terkait pencairan dana BMHP.
Rangkaian fakta ini bukan sekadar cerita ruang sidang melainkan potret bobroknya moral pejabat dan lemahnya keberanian aparat penegak hukum. Semua bukti sudah di depan mata, namun langkah hukum seolah tertahan oleh bayangan kekuasaan.
Secara yuridis, dasar bagi Kejaksaan untuk mengembangkan perkara korupsi dan menetapkan tersangka sudah sangat jelas. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menegaskan bahwa penetapan tersangka harus didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah. Selain itu, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, khususnya Pasal 30 ayat (1) huruf d, secara eksplisit memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu, termasuk korupsi. Kewenangan ini bahkan diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Anehnya hingga kini Kejari Sula belum menyeret nama-nama di atas untuk dimintai pertanggungjawaban di hadapan hukum. publik berhak bertanya ada apa dengan Kejari Sula?
Pekan depan, tepatnya pada 27 Oktober, Jaksa Penuntut Umum Kejari Sula dijadwalkan membacakan tuntutan terhadap terdakwa Muhammad Yusril, sebelum majelis hakim Pengadilan Negeri Tipikor Ternate menjatuhkan putusannya. Menariknya, meski ia telah mengembalikan kerugian keuangan negara, langkah itu sama sekali tidak menghapus sanksi pidananya. Namun ada hal yang lebih menggelitik ia diketahui menggunakan jasa pos bantuan hukum gratis (Posbakum) dalam persidangan. Lalu, timbul pertanyaan logis jika benar ia memakai bantuan hukum gratis, dari mana ia memperoleh uang senilai Rp1,6 miliar lebih itu untuk mengembalikan kerugian keuangan negara?
Jaksa Penuntut Umum Kejari Kepulauan Sula tidak seharusnya bersembunyi di balik alasan ‘menunggu tuntutan dibacakan’ untuk bergerak. Hukum tidak menuntut pasifitas, melainkan keberanian moral untuk menegakkan keadilan tanpa kompromi. Pengembangan kasus bukan hak istimewa, melainkan kewajiban ketika fakta dan bukti muncul di hadapan mata. Maka menjadi absurd ketika Kejari Sula justru menutup mata terhadap fakta persidangan yang jelas-jelas diduga menyeret nama-nama yang disebutkan. Diam di tengah bukti adalah bentuk kelalaian dalam penegakan hukum dan pengkhianatan terhadap keadilan itu sendiri.
Harapan masyarakat Kepulauan Sula kini tertuju pada kinerja Kejari Kepulauan Sula agar benar-benar menegakkan hukum tanpa pandang bulu, bukan sekadar mengumandangkan jargon keadilan di atas kertas. Prinsip equality before the law seharusnya bukan hiasan dalam visi dan misi lembaga ini, tetapi napas yang menggerakkan setiap tindakan penegakan hukum. Jika Kejari Sula gagal menangkap oknum-oknum yang terungkap dalam fakta persidangan perihal keterlibatan mereka, maka visi keadilan hanyalah ilusi, dan hukum kembali menjadi alat kekuasaan bagi mereka yang kebal dosa. Rakyat tidak butuh janji, mereka menunggu keberanian-keberanian untuk menegakkan hukum. (**)