Sarfan Tidore
(Owner Commune Coffee)
Maluku Utara, didominasi oleh dua kategori nelayan diantaranya nelayan tradisional dan postradisional. Penjelasan tentang kategori nelayan dan angka statistik sudah dijelaskan pada tulisan saya yang bertajuk: “Nelayan Dalam Pusaran Perubahan Ekologi” (baca harian RakyatMu, 11 September 2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, di sini perlu saya mengafirmasi perhatian penjelasannya tulisan ini, yaitu konsepsi nelayan postradisional dan akan menunjukkan fakta-fakta penyebab akar kemiskinan. Nelayan postradisional adalah transformasi nelayan tradisional berupa perubahan armada, alat tangkap, kemudahan akses baik pasar, modal, peningkatan pengelolaan hasil tangkapan serta kombinasi pengetahuan modern dan lokal terkait penangkapan ikan.
Hari yang cerah, tepat jam tiga sore. Di sebuah pondok nelayan, tepi tambatan perahu di kelurahan Kalumata, Ternate Selatan, Maluku Utara, seorang lelaki duduk mendongak ke air laut sedang surut itu sembari mengepulkan asap tembakaunya. Kemudian kembali menundukkan kepala sembari mengatup matanya.
Pondok nelayan ini berdinding tripleks, beratap seng dan berlantai papan yang merupakan tempat berkumpul dan berdiskusi kelompok nelayan Pantai Selatan. Berbekal modal patungan dan tekad kuat hingga kami membangun pondok nelayan ini sejak tahun 2017, ujar ketua kelompok nelayan Pantai Selatan, Muhidin Abdurahman (46).
Sebelum kelompok nelayan ini dibentuk, katanya, ada 15 kelompok nelayan kecil di sini dan bergerak dalam kepentingan mereka masing-masing. Tidak ada persatuan, saling iri, saling sikut karena sering terjadi benturan kepentingan. Seperti misalnya soal hasil tangkapan, pendapatan dan bantuan alat tangkap sehingga kerapkali terjadi konflik.
Muhidin bilang, pada tahun 2017 mereka berinisiatif mendirikan satu kelompok nelayan dengan tujuan, untuk mengorganisir kelompok-kelompok nelayan kecil tersebut dalam satu payung organisasi. Usaha ini akhirnya berbuah sukses dan didirikannya kelompok nelayan yaitu Nelayan Pantai Selatan. Nelayan di sini (Kalumata) rata-rata menggunakan alat tangkap perahu bermesin 15-20 PK, mesin 2-3 GT, ketinting, nilon, umpan dan mata umpan, lanjutnya. Atau yang disebut nelayan postradisional.
Penyebab Kemiskinan
Muhidin menjelaskan, pendapatan nelayan bukan malah naik—justeru mengalami penurunan sejak tahun 2020 hingga sekarang. Lokasi penangkapan pun makin jauh—20 hingga 30 mil dari garis pantai. Untuk mendapat hasil banyak kami harus menginap dua malam di lautan dan hasil tangkapan maksimal 200 kilogram.
Bila tidak nginap, melaut jam 4 subuh hingga jam 09 atau 10 siang hasil tangkapan paling banyak 80 sampai 90 kilogram. Jenis ikan yang ditangkap adalah ikan pelagis—diantaranya cakalang, komo, tongkol dan ikan tuna.
Menurutnya, pada tahun 2010 sampai 2016 hasil tangkapan nelayan masih cukup baik. Satu hari (1×24 jam) melaut bisa mencapai 200-300 kilogram. Wilayah tangkapan pun hanya 4 sampai 5 mil dari garis pantai dan itu pun dianggap sudah sangat jauh.
Pendapatan nelayan (postradisional) tahun 2019 perlahan-lahan mengalami penurunan, mereka mulai dihantui kemiskinan dan ini disebabkan oleh tiga hal—yakni reklamasi pantai, pencemaran lingkungan dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Jadi kemiskinan nelayan bukan soal sumber daya, tetapi, lebih pada ketiga masalah itu.
Dia menjelaskan, pertama, misalkan menangkap ikan tuna dan tongkol menggunakan alat pancing tonda. Alat pancing tonda itu, adalah alat tangkap yang menggunakan nilon panjang dan terdiri atas mata pancing dan umpan yang ditarik oleh perahu.
Disaat tonda (pancing) ikan, mata pancing (kail) sering tersangkut sampah dan ini sangat menghambat. Apalagi disaat hujan—begitu banyaknya sampah di lautan membuat nelayan tidak bisa pancing tonda ikan tuna dan tongkol. Bisa jadi hal ini yang membuat ikan makin menjauh ke lautan lepas.
Dia mengatakan, dulunya ada tempat-tempat berkumpulnya ikan yang tidak menyulitkan nelayan bila melaut. Akan tetapi, sekarang ini mungkin ikan yang berkurang atau bisa jadi berpindah ke tempat lain, sebab, habibatnya mulai terganggu.
Bahkan tidak sebatas itu, yang jauh lebih parah lagi adalah musim hujan, panas dan angin tidak menentu. Perubahan cuaca yang tidak menentu ini bukan hanya menghambat aktivitas nelayan, tetapi, dapat melemahkan kekuatan ekonomi nelayan.
Kedua, pembangunan reklamasi. Berdasarkan (Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil), reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan setiap orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan—ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial-ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase, dikutip laman Journal of Public Administration and Government (Dahyar Daraba, dkk 2020).
Menurut Dahyar Daraba, dkk pembangunan reklamasi pantai diharapkan mampu memenuhi kebutuhan daerah serta dapat menjawab permasalahan pembangunan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat. Pembangunan Kota Ternate misalnya ditandai dengan munculnya program pemerintah tentang reklamasi pantai.
Reklamasi pantai berakibat pada sebagian besar nelayan terpaksa kehilangan pekerjaannya karena lokasi disisakan untuk dijadikan tambatan perahu tidak luas (sempit) dan menghambat aktivitas melaut sehinga banyak nelayan terpaksa beralih profesi, Tulis Dahyar Daraba, dkk.
Sejalan dengan itu, Muhidin menjelaskan reklamasi yang dibangun pemerintah Kota Ternate saat ini menghambat sekali aktivitas nelayan. Sebab tambatan perahunya kecil dan saluran airnya tidak lancar—apalagi disaat air laut surut akibatnya perahu pun menjadi kandas. Hal ini membuat nelayan tidak bisa melaut.
Disaat melaut sekalipun ikan masih makan, tetapi, bila sudah waktunya air laut surut kami terpaksa harus pulang. Jika tidak pulang, jalur masuk ke tambatan perahu airnya mengalami kekeringan dan tidak bisa masuk di tempat parkiran perahu. Sementara bila parkir di luar, perahu akan dihantam ombak hingga rusak atau hilang terbawa arus, ujarnya.
Muhidin bilang, sebelum adanya reklamasi, kami melaut tak ada batas waktu, tak ada hambatan apapun terkecuali laut tak bersahabat. Sekarang ini harus menunggu air laut pasang—perahu tak lagi kandas, baru bisa melaut.
Reklamasi ternyata menyusahkan, katanya, dan nelayan marah sekali jika mendengar proyek reklamasi—sebab dapat merugikan nelayan. Rugi dalam artian waktu memancing—sudah waktunya untuk melaut, dan disaat bersamaan perahu masih kandas. Sedangkan ikan pun hanya makan di waktu tertentu saja.
Misalkan sore atau menjelang subuh adalah jam makannya ikan dan sebelum itu, kami sudah harus berangkat karena perjalanannya cukup jauh. Sementara di sisi lain perahu dalam keadaan kandas karena air laut sedang surut. Kami tak bisa berbuat apa-apa selain pasrah pada keadaan, lanjut Muhidin.
Dia bilang, anggota kelompok nelayan Pantai Selatan awalnya 300 orang. Akibat pembangunan reklamasi banyak yang berhenti menjadi nelayan dan beralih profesi. Jumlah anggota kelompok nelayan saat ini tersisa 35 orang. Tetapi sebenarnya banyak yang tidak lagi aktif melaut. Sebab hasil tangkap tidak berbanding dengan pengeluaran saat melaut.
Ketiga, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pun membuat nelayan banyak tercekik. Terkadang untung, tetapi tipis, terkadang tak dapat menutupi biaya minyak—rugi. Jadi melaut pun penuh perhitungan—bila musim ikan atau tepat pada waktunya ikan sedang makan, ujarnya.
Nelayan kecil yang menggunakan alat tangkap sederhana seperti kami ini tidak ada keuntungan sama sekali. Sekali melaut saja membutuhkan minyak sebanyak 50 liter. Sudah begitu, setiap nelayan diwajibkan memiliki hartu nelayan dan foto bersama perahu agar bisa mendapat minyak. Tetapi kartu nelayan pun sudah dinonaktifkan. Pemerintah bikin kitorang (nelayan) makin kesulitan, kata Muhidin.
Isman Labaido (50), salah satu anggota nelayan Pantai Selatan, bersama dua rekannya di depan pondok nelayan di sebuah tempat duduk, di bawah pohon ketapang, mengobrol soal hal ikhwal nelayan dan sesekali menatap perahunya sedang kandas di tembatan perahu sore itu. Sambil gunakan telunjuk jari lalu menunjuk perahunya.
Dia menjelaskan, lihat akibat perahunya kandas membuatnya tidak bisa melaut. Sekarang menangkap ikan tak tebang pilih—baik ikan dasar, komo, tuna, cakalang, tude dan jenis pelagis lainnya. Apalagi belum musim ikan, perlu perhitungan matang. Kala melaut dan tiba di lokasi penangkapan pun harus tepat waktu. Dan tidak berlalu-lalang mengejar ikan tuna bila ingin menghemat minyak—tidak rugi.
Dia bilang, kenaikan harga BBM dan perubahan cuaca membuat nelayan bertambah sulit. Hasil tangkapan tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan. Sedangkan gunakan mesin 20 PK dan minyak yang dibutuhkan sebanyak 25 liter dengan biaya Rp250.000 satu kali melaut. Pendapatan sekali melaut paling tinggi Rp300.000. Bahkan seringkali pendapatan di bawah seratus ribu, katanya.
Sudah begitu nelayan dipersulit pihak premium disaat beli minyak. Sampai-sampai sering adu mulut dan hampir berkelahi dengan mereka. Mereka tahu, kami adalah nelayan tetapi mereka (pihak premium) justru melayani pembeli yang gunakan jirgen. Pelayanan tidak adil ini dikarenakan mereka diberi uang tips oleh pembeli itu, ungkapnya.
Dia mengatakan tahun lalu (2020-2021) kami nelayan diberi kartu asuransi tidak berbayar dan berlaku hingga 5 tahun. Tetapi ketika pergantian menteri kartu itu dinonaktifkan hingga sekarang. Jadi kami meminta kepada dinas perikanan dan kelautan agar memperhatikan hal ini—terutama menindak pelayanan di premium tidak adil itu.
Isman bilang, persoalan paling bikin nelayan sengsara dan terjerit miskin adalah reklamasi. Adanya reklamasi pendapatan nelayan menurun jauh sekali. Bila air laut surut tembatan perahu dan muarannya kering dan ini menghambat sekali aktivitas melaut, katanya sambil geleng kepala sesali dengan kondisi yang ada. Jadi reklamasi sebenarnya sama halnya pemerintah menghambat pendapat nelayan.
Sejak pemerintah Kota Ternate (dinas PUPR) bangun reklamasi banyak nelayan berhenti melaut dan ada 18 yang menjual perahunya. Perahu bermesin 2 GT 4 orang, 3 GT 6 orang dan ketinting 8 orang. Mereka yang menjual perahunya tersebut beralih menjadi pekerja bangunan dan tukang ojek, katanya.
Hal ini disebabkan muara tambatan perahu ditutupi pasir karena aktivitas alam. Mau dan tidak mau mereka beralih ke jalur sempit dan tidak bisa melaut bila air laut sedang surut. Untuk menekan biaya hidup, kami mencari pekerjaan sampingan diantaranya jadi buruh bangunan, tukan ojek dan buruh pelabuhan.
Dia menjelaskan reklamasi pun membawa dampak pencemaran lingkungan cukup serius. Saluran air taprop (tersendat), sehingga timbul penyakit gatal-gatal bila tersentuh air dan baunya tak sedap sekali. Bahkan ada beberapa jenis ikan pun mati.
Pakar kelautan IPB Alan Koropitan dikutip laman detiknews, mengatakan pembangunan reklamasi akan mengakibatkan pencemaran laut semakin bertambah. Karena akibat sedimentasi makin bertambah 50-60 cm pertahun dan hal ini bila tidak ditangani, maka akan berdampak serius terhadap kesehatan masyarakat.
Isman menjelaskan, saluran air yang tersendat membuat nyamuk bertambah banyak dan ada sebagian masyarakat yang mengidap penyakit malaria. Reklamasi tidak hanya melemahkan ekonomi, tetapi, juga berdampak pada kesehatan masyarakat. Ini salah satu faktor membuat nelayan terjun dalam jurang kemiskinan.
Penjelasan mengenai problem kemiskinan yang dihadapi nelayan tersebut, diperlukan komitmen kerja sama multipihak: dinas PUPR, lingkungan hidup, Perikanan dan Kelautan, serta akademisi. Upaya kolaborasi ini dilakukan agar dapat menekan, mengurangi dan mengatasi problem kemiskinan yang dihadapi nelayan.
Gray (1989) mengatakan, kolaborasi adalah suatu proses berpikir di mana pihak-pihak yang terlibat memandang aspek-aspek perbedaan dari suatu masalah serta menemukan solusi dari perbedaan tersebut dan keterbatasan mereka terhadap apa yang dapat dilakukan. Sehingga penyebab akar kemiskinan nelayan dapat teratasi, dan hal ini membutuhkan kebijakan yang terkoordinasi hingga pada level lapisan masyarakat nelayan. (**)