Arman Buton
(Pemuda Kepulauan Sula)
Berta Caceres adalah salah seorang perempuan tangguh dan pemimpin adat Lenca, pembela HAM dan lingkungan di Honduras. Dia adalah mahestro, otak atas penolakan perusahan besar di Honduras.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Masuknya pembagunan Agua Zarsa. Satu proyek raksasa yang dipelopori perusahaan raksasa pula, menjadi ancaman serius terhadap keberlangsungan hidup para petani dan pribumi di Honduras.
Aktifitas perusahaan tersebut, menjadi tragedi sejarah paling tragis yang dialami petani dan pribumi Honduras. Ekspansi dan eksploitasi besar-besaran oleh perusahaan, telah merusak alam, lingkungan, ekosistem, dan kehidupan didalamnya.
Pohon-pohon ditebang habis dalam skala besar. Alat berat seperti Bolduser, Eksavator dan lainnya mengamuk tak kenal jeda, tak kenal waktu, siang atau malam. Tak kenal ampun.
Bumi Honduras menangis. Kehancuran nyata benar-benar terjadi. Dalam ketakutan, Petani hanya bisa melihat dari jauh. Lahan, perkebunan, yang dulu subur dan hijau, dirubah menjadi arena atau sirkuit permainan akrobatik para kelas atas; korporasi dan pejabat negara, yang keamanannya VIP, dikawal ketat petugas keamanan negara. Kehadiran kekuatan beser tersebut, meneror psikologi pribumi, mengamputasi mental petani. Mereka tak punya nyali walau hanya sekedar berkata tidak.
Ditengah kehancuran pribumi dan harapan yang pupus. Berta Caceres, datang sebagai kesatria cahaya. Sikap tegas serta idialisme yang terpatri, Caceres tak kenal kompromi, tak ada jalur negosiasi bagi pejabat negara dan korporasi. Kecuali satu, “lawan” para perampok yang merusak tanah leluhur dan peradaban pribumi.
Bagi Berta Caceres. Bumi ini; tanah beserta segala isinya adalah warisan leluhur kepada anak cucu. Harus dikelola dengan baik untuk keberlangsungan hidup, dari satu generasi ke generasi berikutnya, begitu seterusnya. Sehingga bumi ini harus dijaga, dirawat dan dipelihara.
Pelan tapi pasti. Aksi Berta Caceres mendapat simpati. Energi dan sprit perjuangan Caceres tertular kepada pribumi yang tadinya penakut menjadi berani. Dari gerakan kecil, kini menjadi gelombang perlawanan besar yang sulit untuk dibendung, bahkan oleh aparat keamanan negara sekalipun.
Akhirnya, perusahaan besar yang perkasa itu, harus takluk diatas perjuangan kecil pribumi yang sadar, yang komitmen dan yang terorganisir.
Berta Caceres sendiri mendapat ancaman pembunuhan berulang kali. Dan, akhirnya, pada tanggal 3 maret 2016, Iya dibunuh oleh sejumlah orang bersenjata didalam rumahnya.
Dunia akan terus mengenang Berta Caceres, beserta kisahnya yang heroik. Sprit perjuangan sejarah tersebut selalu tertular kepada mereka-mereka yang bernasip sama.
Dari cerita Berta Caceres, Saya meyakini, sebelum amukan Ekskavator dan buldoser di Honduras. Honduras, pasti memiliki keindahan alam yang eksotis dan kearifan lokal yang berharga. Sama seperti pesona keindahan di Pulau Mangoli.
Tanah subur, mata air jernih, pohon-pohon hijau, burung-burung berkicau. Laut tenang, ikan berlimpah. Lengkap sudah kecantikan Mangoli jika ditambah dengan kearifan lokal masyarakat pribumi. Diksinya, kira-kira seperti itu. Semoga ada yang sependapat.
Namun dibalik keindahan dan pesona Pulau Mangoli. Ada ketakutan saya yang mendalam, setelah mendengar informasi 10 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Pulau Mangoli yang berkembang saat ini melalui sosial media.
Ada beberapa artikel kaitannya dengan IUP di Pulau Mangoli, telah saya baca. Isinya, Bupati dan DPRD Sula, diminta untuk menjelaskan bagaimana kronologi terbitnya IUP tersebut? Bagaimana IUP keluar begitu cepat, tanpa sepengetahuan masyarakat pribumi? 10 IUP, bukankah terlalu banyak untuk ukuran pulau kita yang kecil ini? Bagimana jika ada kehancuran lingkungan dan kearifan lokal dimasa mendatang? Siapa yang bertanggung jawab?
Secara keseluruhan, pandangan-pandangan yang saya baca, saya sependapat. Pulau Mangoli harus sama-sama kita jaga.
Sebagai ikhtiar, patut kita curigai narasi-narasi seperti hadirnya perusahaan tambang maka lapangan kerja akan terbuka, bisa meningkatkan PAD, dan seterusnya. Sebab bisa saja, ini alibi. Dan, alibi yang demikian itu, hanya sebatas skenario. IUP jangan dijadikan mesin ATM untuk menarik uang sebanyak-banyaknya dari korporasi, terutama investor pertambangan tanpa pikir efek kedepannya.
Sementara itu, perusahaan tambang akan berjalan cepat dengan visinya, “profit atau keuntungan” tanpa pamrih.
Pertambangan membutuhkan lahan yang luas, sehingga bumi dapat digali oleh para penambang. Untuk alasan ini, pelebaran area perlu dilakukan secara besar-besaran. Selain itu, vegetasi didaerah sekitarnya juga harus dibabat habis untuk pembangunan jalan dan perumahan perusahaan. Pohon kelapa, cengkeh dan pala dia area sekitar pasti turut dibabat .
Tak hanya tanah dan kebun warga yang hilang. Sisi-sisa limbah cair yang dibuang ke lubang tambang akan tergenang. Hal ini akan menjadi tempat berkembang biak bagi panyakit yang terbawa air. Hutan yang ditebang untuk keperluan pertambangan adalah rumah sebagian besar organisme. Dengan defirestasi telah memusnahkan habitat sejumlah besar hewan.
Penerjemahan kelestarian alam harus dijadikan parameter dalam mendiagnosa sedini mungkin dampak kerusakan lingkungan dan kelestarian budaya lokal dikemudian hari.
Sehingga penting kiranya, Saya menyapa Teman-teman aktivis dan mahasiswa, terkhusus dari Pulau Mangoli. Sejenak kita, sama-sama merenung. Bukankah, dari hasil orang tua berkebun, kita hari ini, seperti ini? Bukankah dari kopra, cengkeh dan kakau? Kita dibesarkan.
Kata pepatah tua, “sejingkal tanah adalah kehidupan”. Maka sangat manusiawi kalo kita sama-sama memiliki ikhtiar dalam menjaga pesona Pulau kecil, harta yang diwariskan leluhur di Pulau Mangoli. Tanpa itu, rasa-rasanya percuma saja kita rajin baca buku dan aktif bertengkar dalam ruang-ruang diskusi, dalam forum organisasi__namun kering diranah praktis.
Kita sendiri yang akan melakukan manuver politik lewat kampanye politik pencerahan kepada “sanohi do pia matua”, masyarakat pribumi yang sudah bermukim ratusan tahun di Pulau Mangoli. Katakan kepada semua, hanya kita yang bisa menjaga diri kita sendiri. Kita terus lalukan itu, meskipun memulainya dari titik yang paling kecil. Sebab, kita tak bisa menggantungkan harapan kepada para Tuan dan Puan DPRD yang diutus. Jika waktu berjalan dan kita satu frekuensi, maka gerakan dari satu titik kecil tadi akan berubah menjadi kekuatan besar yang disegani.
Aktivis dan mahasiswa bole saja berbenturan ide atau konsep politik, ekonomi, pembagunan atau kepentingan, dan apapun itu. Tetapi setidaknya kita punya sedikit naluri marah yang sama, jika ruma kita diganggu. (**)