Kisah Cinta Tak Terucap
M. Raizul Zikri
Kulihat ia duduk sendirian di pantai Kastela, tangannya tampak mengaduk segelas kopi, matanya sesekali menatap jauh pada ombak, rambut lurus berkibar tertiup angin.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kejauhan pantai kastela tampak berkelip pamerkan cahaya, memang jarak dari pantai kastela tidak jauh sesekali aku juga sempat bermain kesana.
Disana orang-orang mulai beranjak pulang suasana pantai kastela mulai sunyi dan tenang.
Aku berjalan mendekatinya debar hati yang kurasa di dada, perasaan yang selalu ingin menjumpai.
Aku melangkah perlahan, tak ingin mengagetkan gadis yang menikmati senja, kulihat gadis cantik itu diam mematung entah apa yang dirasakan.
“incess, kamu di sini?” tanya ku pelan.
ia menoleh ke arahku menatapku kaget, mata indah yang selalu ku kagumi itu tampak sendu selengkung senyum manis ia lemparkan padaku walau kaku.
“Raizul?”
“ia incess”. Tanganku mulai menarik kursi lalu duduk mendekatinya, mataku pun mulai menatap air laut yang mulai samar. “Kenapa anda di sini?”
“tak ada apa-apa raizul, saya lagi ingin menikmati senja saja.”
“Ceritakan, mungkin saya bisa membantu.”
“Tak ada yang perlu diceritakan, dan memang tak ada”.
Suasana menjadi kaku, saya dan saya adalah kalimat penyebutan yang kaku dalam percakapan kita.
Sebab Incess adalah wanita yang cerdas sementara aku hanyalah lelaki yang bodoh, tidak pantas untuk dia. tetapi aku berusaha untuk mendekatinya walau kadang kaku pembicaraan tentang kita.
“Kalau begitu, sekarang pulanglah, hari mulai gelap.”
incess menatapku tajam.
“Kenapa?” tanya ku berbeda, tatapan incess seperti pisau yang tajam, tetapi kemudian ia menunduk wajahnya, dari wajahnya ada sesuatu yang ingin ia katakan, tetapi tak sampaikan.
“Baiklah,” jawabnya sambil berdiri, ia berjalan menuju kasir lalu membayar segelas kopi yang ia pesan.
“Biar aku antar sampai depan kosan, incess.”
“Makasih,” ucapanya.
“Tak perlu berterima kasih, saya takut saja terjadi apa-apa pada anda, karena ini sudah gelap”.
Aku berjalan di samping incess tanpa sepatah katapun keluar, begitu juga dengan incess, hingga akhirnya incess masuk ke kosan lalu hilang dari pandangan.
Pagi itu, aku ke kampus.
Iman nampak duduk di depan kursinya ia sibuk memeriksa tugas yang diberikan oleh dosen.
“Pagi, iman.”
“Pagi juga, raizul”
Ku edarkan pandang keseluruh ruangan,
incess tak ada, padahal dia adalah gadis paling rajin masuk kampus. “Apakah dia sakit?”
“Ada sesuatu buatmu raizul. Dari incess
semua ada di atas kursinya,” kata iman “lihatlah”
Aku lalu berjalan menuju kursinya sebuah amplop tampak di atas buku yang ia tinggalkan. Ternyata, kemarin adalah hari terakhir incess ke kampus, ternyata ia sudah wisuda dari beberapa minggu yang lalu.
Aku segera keluar ruangan menuju sebuah kursi di taman dekat ruangan sosiologi. Tempat dimana aku selalu bercakap dengan incess.
Aku segera membuka isi amplop itu perlahan, ada sesak pada dada ini, entah kenapa.
Segera ku keluarkan isi dari amplop itu, nampak lembaran-lembaran puisi yang pernah ku tulis untuk incess.
Tanganku masuk lagi ke dalam amplop dan mendapatkan sebuah tulisan pesan dari incess. Tulisan incess tampak lain ia seperti gemetar dalam penulisan yang berantakan, tetapi bahasanya aku tahu, ini tulisan incess.
Kita adalah sepasang yang kaku, tapi dari sikap kita aku tahu saling jatuh cinta, terimakasih pada rasa yang tak sempat terungkap. (**)
Bersambung….