Budiman L. Mayabubun, SH
(Calon Ketua DPC PDI Perjuangan Pulau Taliabu)
“Dipersembahkan menjelang Musyawarah Cabang PDI Perjuangan Pulau Taliabu”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam arsitektur ketatanegaraan Indonesia, kedaulatan rakyat tidak pernah bekerja dengan sendirinya. Ia membutuhkan instrumen untuk memastikan kekuasaan tidak disalahgunakan dan anggaran tidak diperlakukan sebagai milik pribadi penguasa. Di tingkat daerah, instrumen itu bernama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Ketika DPRD kuat, maka rakyatlah yang sesungguhnya berdaulat. Sebaliknya, ketika DPRD lemah, demokrasi lokal hanya menjadi panggung akrobat politik kepala daerah.
DPRD Bukan Stempel Kekuasaan
Sering kali relasi eksekutif–legislatif dibangun dalam kondisi timpang: eksekutif memegang anggaran, birokrasi, dan akses kekuasaan; sementara DPRD ditekan untuk sekadar menyetujui tanpa kritis. Padahal Undang-Undang sudah tegas menempatkan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah, bukan sekadar pelengkap prosedural.
Fungsi anggaran, legislasi, dan pengawasan adalah tiga kekuatan utama DPRD yang tidak boleh dilemahkan. Tanpa pengawasan, APBD berubah menjadi ruang gelap yang penuh jebakan utang, pemborosan, dan permainan proyek. Tanpa keberanian menolak, DPRD hanya menjadi stempel yang sah tetapi tidak bermartabat.
APBD Harus Dibahas, Bukan Dipaksakan
Belakangan, banyak daerah menghadapi melemahnya posisi DPRD karena eksekutif mencoba memaksakan dokumen anggaran tanpa proses pembahasan yang sehat. Situasi ini menciptakan preseden buruk:
Kepala daerah seolah-olah menjadi satu-satunya penentu, sementara DPRD kehilangan ruang untuk melindungi rakyat.
Padahal APBD adalah kontrak sosial antara pemerintah dan masyarakat. Ia harus melewati perdebatan, pendalaman, koreksi, dan evaluasi. Bukan dikerjakan di ruang tertutup lalu dibawa ke paripurna sebagai formalitas.
Ketika DPRD tidak dilibatkan, yang hilang bukan hanya kewenangan lembaga, tetapi hak publik untuk tahu dan menuntut efisiensi anggaran.
Rakyat Berdaulat Melalui Parlemen yang Berani
Kedaulatan rakyat bekerja melalui dua cara:
- Rakyat memilih wakilnya, dan
- Wakil rakyat menjalankan mandat secara tegas.
DPRD yang kuat bukan yang pandai berkompromi, tetapi yang berani mengatakan tidak ketika dokumen anggaran tidak realistis, tidak akuntabel, atau penuh risiko keuangan. DPRD yang kuat adalah yang berdiri di depan, bukan di belakang eksekutif.
Ketika dewan berani membuka ruang kritik, memanggil OPD yang tidak transparan, atau menolak APBD yang bermasalah, itu bukan perlawanan politik, itu adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Demokrasi Lokal Hanya Hidup Jika DPRD Tidak Takut
Sering muncul stigma: anggota DPRD yang kritis dicap mencari panggung atau membuat situasi tidak kondusif. Padahal, yang tidak kondusif justru adalah pemerintahan yang tidak transparan.
Pemerintahan yang sehat hanya mungkin terjadi jika DPRD menjalankan fungsi kontrol tanpa intimidasi, tekanan birokrasi, atau permainan opini publik.
DPRD yang takut akan melahirkan pemerintahan yang tamak.
DPRD yang diam akan membiarkan rakyat kehilangan hak atas anggaran yang seharusnya kembali ke kepentingan umum.
Penutup: Kekuatan DPRD Adalah Nafas Demokrasi
Pada akhirnya, kekuatan DPRD bukan hanya soal lembaga, tetapi soal menjaga akal sehat demokrasi. Jika DPRD lumpuh, demokrasi daerah ikut runtuh. Jika DPRD bungkam, rakyat otomatis tidak punya suara.
Sebaliknya, ketika DPRD berdiri tegak, maka kedaulatan rakyat menemukan jalannya. Karena itu, DPRD yang kuat adalah syarat mutlak bagi rakyat untuk benar-benar berdaulat.
Dan keberanian itu harus dipelihara, dijaga, dan dijalankan setiap hari di ruang rapat anggaran, di ruang paripurna, dan dalam menyuarakan ketidakadilan anggaran sekecil apa pun. (**)













