Gusai Fabanyo
(Komite Pimpinan Pusat Samurai Maluku Utara)
Indonesia dikenal sebagai Negara yang kaya akan sumber daya alam. Dari Sabang sampai Merauke, perut bumi kita menyimpan emas, nikel, batu bara, tembaga, hingga timah. Namun, di balik kekayaan itu, ada wajah lain yang tak kalah mencolok, penderitaan Rakyat dan kerusakan lingkungan yang terus terjadi dari waktu ke waktu tanpa henti.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Industri pertambangan sering kali datang dengan janji manis, lapangan pekerjaan, pembangunan infrastruktur, dan peningkatan ekonomi daerah. Tetapi realitas di lapangan jauh dari harapan. Alih-alih kesejahteraan, yang muncul justru konflik agraria, rusaknya ekosistem, hilangnya ruang hidup, dan luka sosial yang terus berkepanjangan.
Baru- baru ini publik dikejutkan dengan laporan penelitian dari Nexus Foundation dan Universitas Tadaulako yang menemukan pencemaran logam berat merkuri dan arsenik pada sampel ikan di area penambangan dan pengelolaan nikel di Teluk Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Sebanyak 47 persen sampel darah warga sekitar yang diteliti juga megandung merkuri dan 32 persen memiliki kadar arsenik melebihi batas aman.
Sebelumnya, juga telah ada penelitian dari Universitas Khairun Ternate yang bekerja sama dengan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Maluku Utara dan tim dari Kompas, yang dilaksanakan di Teluk Buli pada 5 September 2023 dan di Teluk Weda pada 7 September 2023. Hasil penelitian tersebut dipublikasikan pada 7 November 2023 dan menunjukkan adanya pencemaran logam berat pada ikan Giant Trevally (bobara). Sampel ikan dari kedua lokasi menunjukkan akumulasi logam berat yang berdampak serius pada organ-organ penting seperti usus, ginjal, dan hati, hingga menyebabkan nekrosis atau kematian sel.
Alih-alih menjadi dasar evaluasi dan perbaikan bersama antara pemerintah dan perusahaan, temuan tersebut justru diabaikan. Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) malah memberikan bantahan yang sembrono tanpa dukungan data maupun kajian ilmiah yang valid. Mereka bersikeras bahwa air di Teluk Weda masih aman, sebuah klaim yang tidak hanya menyesatkan, tetapi juga mencerminkan ketidakseriusan dalam melindungi lingkungan dan kesehatan publik.
Daerah-daerah yang kaya akan potensi tambang di Maluku Utara seperti Halteng, Haltim, dan Halsel. Hutanya dikeruk, sungainya tercemar logam berat, dan tanah adat dirampas demi kepentingan industri, masyarakat adat dan petani kecil kehilangan tanahnya. Ironisnya, mereka yang tinggal berdampingan dengan kekayaan itu justru tetap hidup dalam kemiskinan dan konflik yang berkepanjangan.
Kerusakan lingkungan akibat tambang bukan sekadar isu lingkungan, ini soal kehidupan. Ketika air tak lagi layak untuk minum, ketika pala dan kelapa gagal panen karena misi ekspansi, ketika longsor dan banjir menghancurkan rumah warga, ini bukan sekadar “dampak”, tetapi ini adalah penderitaan nyata.
Aparat keamanan dikerahkan untuk mengamankan kepentingan perusahaan tambang, bukan melindungi warga. Suara-suara protes dibungkam, aktivis lingkungan dikriminalisasi, masyarakat lokal kehilangan ruang untuk berbicara dan menentukan masa depan mereka sendiri.
Lihat saja apa yang terjadi di Wayamli. Warga ditembak dengan senjata api hanya karena mereka berani mempertahankan hak atas tanah leluhurnya dari ekspansi perusahaan tambang PT. STS perusahaan yang oleh warga seolah menjadi “penjahat tanah” Di wilayah Maba Sangaji, sebelas warga pribumi bahkan ditangkap dan ditahan dengan tuduhan melakukan tindakan premanisme dan membawa senjata tajam. Tuduhan itu dilayangkan oleh Polda Maluku Utara yang secara terang-terangan tampak lebih melindungi kepentingan PT. POSITION daripada rakyatnya sendiri.
Padahal kita semua tahu, membawa senjata tajam seperti parang dan tombak adalah bagian dari budaya dan kebutuhan masyarakat Halmahera ketika masuk hutan, sama wajarnya seperti polisi atau tentara yang membawa senjata saat bertugas di wilayah konflik. Tuduhan semacam itu tidak hanya mencerminkan ketidakadilan, tetapi juga bentuk kriminalisasi terhadap cara hidup dan identitas masyarakat Halmahera.
Sudah banyak daerah yang jadi korban akibat industri pertambangan, air yang jadi racun bagi, kehilangan sumber oksigen, hingga pada warisan penderitaan rakyat. tapi tetap saja ada yang luluh ketika digoda ratusan juta, seolah tanah leluhur cuma selembar kuitansi yang bisa ditukar dengan musibah dan air mata.
Yang lebih menyedihkan, keuntungan besar dari industri ini justru mengalir ke kantong segelintir orang. Pemilik modal, penguasa, dan investor asing. Sementara kerusakan ditanggung rakyat, dan kerugiannya diwariskan pada generasi mendatang.
Apakah kita akan terus membiarkan sumber daya kita dieksploitasi tanpa kendali, dengan harga penderitaan manusia dan kehancuran alam? Atau sudah saatnya kita berpikir ulang, menata ulang arah pembangunan agar berpihak pada manusia dan bumi?
Tambang bukan satu-satunya jalan menuju kemajuan. Justru, tanpa keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan, segala bentuk “kemajuan” hanyalah ilusi yang dibangun di atas reruntuhan kehidupan. (**)