RAKYATMU.COM – Meskipun Kabupaten Halmahera Tengah, Halmahera Selatan dan Halmahera Timur merupakan daerah penghasil tambang di Maluku Utara, namun masih tercatat sebagai daerah yang mengoleksi angka kemiskinan cukup tinggi.
Hal tersebut disebabkan peningkatan penduduk yang tak terbendung sehingga memicu inflasi. Disisi lain, secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi tahun 2023 berada pada 20,49 persen.
Plt Kepala Bappeda Maluku Utara Yasin Hayatudin mengatakan, dari angka akumulasi pemerintah provinsi terdapat tiga kabupaten masih berada pada tataran kemiskinan dan terjadi inflasi 3,0 persen. Sementara, hasil pajak belum mampu mengendalikan problem yang ada.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Dari hasil evaluasi kami bahwa ada beberapa catatan penting di antaranya angka kemiskinan masih cukup tinggi dan angka inflasi masih di angka 3,0 persen. Kumulatif angka kemiskinan untuk sementara berada di Halmahera Tengah, Halmahera Selatan dan Halmahera Timur,” katanya saat ditemui di Ternate pada Senin kemarin.
Ia menjelaskan, infrastruktur wilayah yang masih terbatas dan menumpuknya distribusi tenaga kerja. Seharusnya, pertumbuhan ekonomi harus berbanding lurus dengan angka pengangguran. Hal ini disebabkan terjadi disparitas pendapatan per kapita.
“Terkonsentrasi penyerapan tenaga kerja di Halmahera Tengah, Halmahera Selatan dan Halmahera Timur sedangkan di daerah lain masih terjadi pengangguran cukup tinggi karena peluang investasi masih minim. Di sisi lain pertumbuhan ekonomi 20,49 persen,” bebernya.
Ia mengungkapkan, fiskal Maluku Utara berkisar Rp 3 Triliun, sehingga harapannya simultan dengan jumlah alokasi anggaran yang disiapkan pemerintah daerah maupun kucuran APBN untuk bisa menuntaskan kerangka makro, karena data kemiskinan berada 78 ribu atau 16 persen.
“Kami juga diminta Bappenas agar pertumbuhan ekonomi ini berada pada posisi 18-20 persen. Mudah-mudahan tahun 2025 angka kemiskinan akan ditekan agar bisa turun. Meminta pemerintah pusat harus penambahan anggaran jangan hanya berharap APBD,” tandasnya.
Menurutnya, ditengah peluang investasi cukup besar, namun dokumen harus jadi informasi yang akurat bagi pemerintah daerah dalam proses pengambilan keputusan pada tahun 2025. Sebab, indikator yang disampaikan BPS harus dibedah kembali.
“Karena investor yang masuk berapa banyak warga daerah setempat yang terserap di perusahaan. Jangan-jangan terserap banyak tapi indikator yang dipakai BPS masih tahun 2018 yang belum direvisi takutnya angka tersebut digunakan terus,” imbuhnya. (**)
Penulis : Haerudin Muhammad
Editor : Diman Umanailo