RAKYATMU.COM – Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kabupaten Pulau Taliabu menemukan fakta mencengangkan dalam penelusuran penggunaan dana pinjaman daerah Rp115 Miliar. Dari hasil pemeriksaan sejumlah pejabat, terungkap bahwa pinjaman tersebut tidak melalui proses perencanaan resmi yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda).
Padahal, dalam sistem pemerintahan daerah, Bappeda adalah lembaga kunci yang bertanggung jawab menyusun arah pembangunan, menetapkan prioritas daerah, serta menjadi dasar semua kebijakan pembiayaan, termasuk pinjaman daerah.
Sejumlah anggota Pansus menilai, absennya peran Bappeda dalam proses pinjaman mengindikasikan pelanggaran prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan potensi cacat prosedural dalam kebijakan keuangan daerah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Mantan Kepala Bappeda mengaku demikian. Tidak mengetahui perencanaan. Padahal pinjaman daerah ini seharusnya berangkat dari dokumen perencanaan resmi seperti RKPD, dan RPJMD yang disusun Bappeda kemudian itu lahirlah namanya RKA,” kata Pansus DPRD Taliabu, saat dikonfirmasi via WhatsApp, Senin (06/2025).
“Kalau pengakuan Bappeda tidak dilibatkan, maka dasar perencanaannya lemah dan berpotensi menyalahi ketentuan hukum. Tetapi ingat, meski mengku begitu, kami akan cek kebenarannya,” ungkap Budi, sapaan akrabnya.
Ia menyebutkan, bahwa setiap pinjaman daerah harus berlandaskan dokumen perencanaan pembangunan daerah.
“Pinjaman daerah bukan keputusan instan. Ini keputusan strategis yang harus disandarkan pada dokumen resmi Bappeda. Tanpa itu, pinjaman bisa dianggap cacat prosedural dan menyalahi prinsip perencanaan pembangunan,” ujar Budiman.
Budi mengutip ketentuan Pasal 142 Permendagri Nomor 77 Tahun 2020, yang menyebut bahwa pinjaman daerah hanya boleh dilakukan untuk kegiatan yang telah dituangkan dalam dokumen perencanaan daerah.
“Sementara Pasal 3 Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 menegaskan bahwa perencanaan pembangunan daerah dilakukan oleh kepala daerah dengan bantuan Bappeda,” tukasnya.
Perencana pembangunan daerah, Budiman menilai absennya Bappeda dalam proses pinjaman sebagai bentuk pengabaian sistem perencanaan nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004.
“Bappeda bukan sekadar pelengkap birokrasi. Tanpa analisis dan sinkronisasi dari Bappeda, pinjaman bisa mengarah pada proyek yang tidak prioritas dan membebani APBD di masa depan. Tapi kami akan telusuri, jangan sampai mantan Kepala Bappeda sembunyikan kebenaran,” jelasnya.
Disentil terkait temuan Pansus saat ini. Budiman mengakui adanya kelemahan koordinasi antara perangkat daerah, terutama antara Bappeda, BPKAD, dan Dinas PUPR. Kenapa demimikian, Pansus menduga beberapa proyek yang dibiayai dari pinjaman ternyata tidak tercantum dalam dokumen RKPD maupun Renstra SKPD, menandakan bahwa pinjaman dilakukan tanpa landasan perencanaan yang jelas.
“Kenapa itu patut diduga, pengakuan mereka demikian. Kalau benar pinjaman itu tidak masuk dalam perencanaan, maka jelas terjadi penyimpangan. Kami akan panggil semua pihak terkait, termasuk nama-nama yang muncul,” terangnya.
Budiman menjelaskan Pinjaman daerah yang tidak berbasis perencanaan berpotensi melanggar sejumlah ketentuan hukum, antara lain: UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Kemudian, Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; dan PP Nomor 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah.
“Kelima regulasi ini menegaskan bahwa setiap pembiayaan daerah wajib berangkat dari dokumen perencanaan yang disusun oleh Bappeda,” pungkasnya. (**)
Penulis : Ikhy Umaternate
Editor : Diman