RAKYATMU.COM – Rabu pagi, 23 Juli 2025, suara ombak di Pelabuhan Darko seperti mengiringi datangnya ribuan warga dari Tidore. Menumpangi lima kapal kayu dan tiga speedboat, rombongan dari Tidore itu menjejak daratan Sofifi, Kecamatan Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara.
Mengenakan pakaian putih dan ikat kepala merah menjadikan barisan massa yang mengatasnamakan Presidium Rakyat Tidore itu seperti pemandangan ritual, yang membaur dengan tuntutan politis: mendorong percepatan pembangunan ibu kota Provinsi Maluku Utara.
Mereka bukan sekadar pendemo. Tapi pewaris narasi panjang peradaban yang kini bersinggungan dengan realitas politik: pemekaran daerah otonomi baru (DOB) Sofifi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menyusuri jalanan sejauh 5 kilometer menuju Bundaran Sofifi, mereka menyusupkan simbol adat ke dalam ruang modern demokrasi: demonstrasi. Di barisan depan, perangkat adat Kesultanan Tidore melangkah teratur dengan dua panji kebesaran kesultanan, mengantar makna sejarah ke gerbang Kantor Gubernur Maluku Utara.
Namun, tensi mulai membuncah saat rombongan memasuki Desa Balbar. Perangkat adat mendatangi rumah Kepala Desa Amir Abdullah, buntut dari pernyataan kontroversialnya terhadap Sultan Tidore Husain Sjah dan Wali Kota Tidore Muhammad Sinen. Mereka ingin mengingatkan Amir agar menjaga lisannya.
Diketahui, dalam aksi demonstrasi yang digelar kelompok Majelis Rakyat Sofifi (Markas) di kantor gubernur dengan tuntutan pemekaran DOB Sofifi pada Selasa, 22 Juli, Amir menuding sultan dan wali kota provokator saat aksi tolak DOB Sofifi di Kedaton Kesultanan Tidore pada Kamis, 7 Juli. Amir bahkan mendesak polisi mengusut sultan dan wali kota.
Namun saat perangkat adat tiba, Amir tak ada. Rumahnya tampak lenggang. Kabarnya, Amir telah dievakuasi sejak malam sebelumnya. Perangkat adat kemudian membubarkan diri dan kembali dalam barisan untuk melanjutkan perjalanan ke kantor gubernur.
Tak lama kemudian, ketegangan kembali meletup ketika massa melewati Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Maluku Utara. Sebab, salah satu staf di DKP dalam beberapa video yang beredar, cukup aktif mendorong DOB Sofifi. Tapi keributan itu tidak berlangsung lama.
Namun emosi kembali terpantik ketika seorang wanita tak dikenal yang melintasi massa dengan sepeda motor, meneriakkan kata-kata kasar dan seksual. “Choe…!!!” teriak wanita itu secara berulang. Tapi masa tidak mengubris. Hanya lima-enam orang yang sesekali merespons dengan teriakan yang sama: choe…!!!
Namun, wanita itu lanjut memprovokasi dengan melontarkan kalimat; “Bodoh, bodoh..!!! Ngoni bikin diri jago-jago, ngoni pe ko**t…!!! Kadara sini di Sofifi bajihad bikiapa…??? (Kalian bikin diri jagoan-jagoan, kalian punya p**is. Datang sini di Sofifi berjihad kenapa???).
Kalimat itu terus dilontarkan oleh wanita itu sambil menghentikan kendarannya. Massa pun bereaksi. Motor ditendang, air mineral melayang. Tiga personel Polisi Lalu Lintas yang berada di lokasi berupaya melerai dan mengamankan sepeda motornya. Perangkat adat dari klan Folasimo juga dengan sigap mengamankan wanita itu ke sebuah mobil polisi untuk dievakuasi.
Insiden tersebut direkam sebuah drone yang melayang di atas lokasi kejadian. Video berdurasi beberapa menit itu pun menyebar cepat melalui Facebook, WhatsApp, dan TikTok, menambah ketegangan yang sudah membara. Tak sedikit yang menduga, insiden itu adalah skenario terencana.

Suasana kembali terkendali. Sejumlah mobil truk dan pikap datang satu-persatu mengangkut massa Presidium menuju kantor gubernur. Termasuk beberapa kelompok massa dari Payahe, Kecamatan Oba, yang ikut bergabung.
Tiba di kantor gubernur sekitar pukul 12.00 WIT, massa pun menggelar orasi – menyampaikan aspirasi seperti biasa. Namun sekitar pukul 13.20 WIT, beredar video sejumlah pemuda di Desa Balbar memuat batu dan balok kayu ke atas truk. Mereka dikabarkan bakal menyerang massa Presidium yang berada di kantor gubernur.
Informasi itu beredar cepat. Tapi massa dari kubu Presidium tak terpancing. Mereka memilih rehat sejenak saat adzan duhur berkumandang, sembari menunggu logistik makan siang yang sedang dipesan.
Beberapa jam kemudian, massa gabungan yang berasal dari Desa Balbar dan sebagian kecil dari Kelurahan Sofifi dan Guraping bergerak dan berhenti di depan area wisata Mangrove. Mereka awalnya sempat dicegat oleh aparat kepolisian. Namun berhasil menembus barikade keamanan dan tiba di depan kantor gubernur.
Lemparan batu saling berbalas dari dua kubu: massa Presidium Rakyat Tidore dan massa Majelis Rakyat Sofifi. Seruan imam masjid dari pengeras suara untuk menyudahi bentronkan, seolah tak berdaya menghadapi bara emosi.
Barikade polisi pun jebol, gas air mata malah balik menyerang aparat sendiri karena terbawa angin. Sementara, massa dari kubu Markas yang umumnya adalah warga setempat, menguasai medan.
Mereka berhasil merangsek masuk lewat beberapa titik area kantor gubernur. Karena saat terjadi serangan batu dari depan, tiba-tiba arah lemparan sudah berpindah di sisi kiri, bahkan dari belakang. Polisi tampak kewalahan.

Minimnya jumlah personel membuat massa dari kubu Markas berhasil memukul mundur massa dari kubu Presidium hingga membuat sekitar 30-an orang lari masuk ke dalam hutan. Mereka baru berhasil dievakuasi oleh polisi jelang malam.
Sementara, logistik makanan dan air mineral untuk kubu Presidium yang diangkut menggunakan truk polisi berhasil dicegat oleh massa dari kubu Markas. Makanan-minuman kemudian dibuat terhambur di jalanan.
Hanya sekitar 10-20 bungkus nasi dan dua kardus air mineral yang berhasil disuplay masuk ke dalam kantor gubernur. Sebagian besar tak makan seharian.

Prosedur tetap (protap) pengamanan mulai terkendali setelah Kapolres Tidore Kepulauan, AKBP Heru Budiharto tiba di lokasi. Negosiasi pun terus dilakukan antara aparat kepolisian dan kedua kubu. Terutama jaminan keamanan bagi kubu Presidium ketika kembali ke Tidore.
Sebab, tersiar kabar dari salah seorang motoris: kapal milik massa Presidium Rakyat Tidore disebut-sebut akan dibakar. Isu itu menyebar seperti angin di hutan kering. Tidak ada kepastian, tapi cukup untuk membuat pilihan pulang lewat Pelabuhan Darko atau Guraping menjadi mustahil.
Keputusan pun harus diambil cepat. Jalan pulang diganti – dialihkan ke Desa Kaiyasa, sekitar 4 kilometer dari Gosale, tempat terpencil yang tak punya dermaga. Tapi itulah satu-satunya pilihan yang tersisa. Opsi itu disepakati. Tapi dengan catatan, ada pengawalan dari kapal Polairud untuk mengantisipasi serangan dari laut. Kapolres setuju.
Sebagian besar massa memasuki air malam-malam, dalam gelap, mengarungi lumpur dan batu untuk mencapai kapal kayu berbobot sekitar 7-8 gross tonnage yang tak bisa mendekat ke pesisir. Sisanya diangkut bergantian lewat speedboat. Di bawah pengawalan kapal Polairud, mereka menantang rasa takut dengan keberanian yang membatin.

Sekitar pukul 23.00 WIT, rombongan akhirnya tiba kembali di Tidore dan disambut hangat penuh haru. Rasa letih, lapar, dan barangkali getir—tapi juga membuktikan bahwa adat, sejarah, dan demokrasi adalah tiga hal yang tak pernah benar-benar bisa dipisahkan di Maluku Utara, khususnya Tidore Kepulauan.