RAKYATMU.COM — Sidang terhadap 11 warga Maba Sangaji, Halmahera Timur, Maluku Utara, yang menjadi terdakwa dalam kasus penolakan tambang, dialihkan secara virtual di Rumah Tahanan (Rutan) Soasio Kelas II B Tidore. Keputusan tersebut memicu protes dari kuasa hukum para terdakwa.
“Kenapa pada saat (hakim) tidak ada di sini, kalian sidang (secara virtual) di Haltim. Kalian penetapan hari sidang pada saat kalian tidak ada, itu yang kami pertanyakan,” ujar penasehat hukum 11 terdakwa, Maharani Caroline di Rutan Tidore, Rabu (6/8/2025).
Sidang pembacaan dakwaan terhadap 11 terdakwa itu awalnya diagendakan di Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, pada Rabu (6/8). Namun, saat 9 orang dari total 18 penasehat hukum mendatangi Pengadilan Negeri Soasio, seluruh hakim tidak berada di tempat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ketika kami datang di pengadilan, ternyata hakimnya tidak ada. Jadi majelis hakim ini semua ada sidang lokasi di Halmahera Timur,” ujarnya.
Maharani mengaku sempat mengajukan komplain. Sebab, saat memasuki ruang sidang, tidak ada satu pun hakim yang berada di ruangan. Pihak PN pun langsung mengarahkan kuasa hukum 11 terdakwa ke Rutan Tidore.
“Nah, ternyata (di rutan) mereka mau sidang online, kalau sidang online kan berarti terdakwa ini tidak boleh dibawa keluar, tapi sidang di sini. Sementara sidang di sini itu tempatnya tidak memadai,” ujar Maharani.
Pertama, lanjut Maharani, sistem suara tidak terdengar jelas. Kemudian, tempat yang dipakai merupakan ruangan milik petugas. Hal ini membuat aktivitas para petugas rutan ikut terganggu.
“Ini kan sidang terbuka untuk umum, seharusnya semua orang boleh masuk. Tapi karena bikin di rutan yang punya SOP sendiri, orang tidak bisa masuk sembarangan kecuali keluarga, tidak boleh bawa kamera,” tuturnya.
“Makanya kami lagi desak sidang ditunda, supaya bisa ke pengadilan. Kalau majelis setuju, berarti diarahkan ke pengadilan. Jadi sementara ini kami masih negosiasi, apakah akan ditunda atau dipindah,” tambahnya.
Maharani juga menyebut, saat kuasa hukum hadir di rutan, sidang pembacaan dakwaan sementara berjalan. Ia sempat meminta agar agenda sidang dihentikan, namun pihak pengadilan beralasan mereka tidak memiliki surat kuasa.
“Mereka beralasan tadi bahwa kami punya kuasa belum ada, tapi kami sudah tandatangan dan itu administrasinya sementara lagi diberesin, sekarang sudah beres,” ujarnya.
Sejauh ini, penasehat hukum juga belum mendapatkan alasan dari hakim terkait pembatalan sidang terbuka di PN. Terutama waktu penentuan sidang yang di saat bersamaan, para hakim tidak berada di tempat.
“Ini karena masih skorsing, jadi kami tunggu. (Nanti) ketika mereka buka sidang, kami akan pertanyakan itu dan menunggu mereka punya jawaban,” ucapnya.
Maharani mengaku penasaran dengan alasan hakim menggelar sidang online di rutan. Sebab, dalam pengalamannya selama beracara, sidang online dilakukan saat Indonesia dilanda virus COVID-19.
“Kenapa pengadilan tidak mau gelar sidang di pengadilan sana, kenapa hakim memilih sidang secara online. Apa sih ketakutan mereka? Sidang online itu sebenarnya saat Covid-19 yah, atau kalau pun mau sidang online ya satu dua perkara, silakan, kalau tidak ada pendampingnya ya,” katanya.
“Tapi kalau ini kan sidang yang menarik perhatian publik, sehingga seharusnya tidak boleh dibatasi dengan online. Ini tidak wajar karena terdakwa banyak, tempat tidak memadai,” pungkas Maharani.
Diketahui, kasus ini bermula dari aksi penolakan tambang nikel di Halmahera Timur yang berujung pada penangkapan 27 warga. Dalam peristiwa itu, 11 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka karena diduga membawa senjata tajam dan merampas kunci alat berat milik perusahaan.