RAKYATMU.COM – Wali Kota Tidore Kepulauan, Muhammad Sinen mendapat berbagai tanggapan usai mempertanyakan dana bagi hasil (DBH). Meski begitu, Muhammad Sinen tetap konsisten dengan sikapnya untuk terus menagih hak daerah tersebut.
“Kalau alasan ibu gubernur (prioritaskan Halmahera Utara dan Halmahera Barat) karena persoalan BPJS, terus daerah lain bagaimana?” ucap Muhammad Sinen saat dihubungi Rakyatmu.com, Jumat (18/4/2025).
Diketahui, DBH Tidore tercatat belum dibayar oleh Pemerintah Provinsi Maluku Utara (Malut) sejak 2022 hingga 2024 atau 3 tahun dengan total Rp 43 miliar. Sementara, persoalan DBH sudah berulang kali disuarakan oleh Pemkot Tidore.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Terkesan kami ini tidak punya etika birokrasi, padahal masalah DBH Tidore sudah kami suarakan sejak 2022 sampai sekarang. Komunikasi dengan Ahmad Purbaya (Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Maluku Utara) itu sudah berulang kali, tapi sama saja,” ungkapnya.
“Jadi kami mau demo duduki kantor gubernur bukan berarti tidak punya etika, bukan begitu. Seharusnya persoalan DBH ini, kami kepala daerah diundang semua, dibahas sama-sama, kan begitu,” tuturnya.
Menurut dia, yang berganti dalam pucuk kepemimpinan di Pemprov Malut adalah gubernur dan wakilnya. Sedangkan sekretaris daerah dan BPKAD masih dengan orang yang sama. “Sekda dan kepala BPKAD kan masih ada,” katanya.
Alih-alih dibayar, pemprov justru memprioritaskan Halut dan Halbar. Hal ini memicu reaksi dari Muhammad Sinen.
“Perlu dicatat, wilayah provinsi itu berada di Kota Tidore Kepulauan. Masa kabupaten yang lain diutamakan, Tidore dibiarkan. Ini yang bikin kami tersinggung,” ucapnya.
Bagi Muhammad Sinen, DBH adalah hak kabupaten dan kota. Sementara, provinsi hanya tempat persinggahan. “Anggarannya dititip di provinsi, dicatat, setelah itu dikembalikan ke daerah,” jelasnya.
Jika penyaluran ke Halut dan Halbar karena alasan kesehatan, bagi Muhammad Sinen, hampir semua daerah punya kebutuhan yang sama. Bahkan Tidore sendiri pernah terjerat utang BPJS. “Hambatannya ya di DBH itu,” katanya.
“Jadi alasan mendasarnya apa sehingga mendahulukan Halbar dan Halut. Sementara Kota Tidore, Kota Ternate, Kabupaten Kepulauan Sula, Pulau Taliabu, Pulau Morotai, dibiarkan,” tanya Muhammad Sinen.
“Karena kalau bicara urgensi, semua kabupaten kota juga butuhkan itu. Apalagi ini kan sudah diprogramkan dalam APBD setiap tahun,” tambah Muhammad Sinen.
Mestinya, kata dia, dari sisa anggaran yang ada, dibagi rata ke seluruh kabupaten dan kota. “Karena DBH ini torang (kami) semua punya, torang (kami) juga punya rakyat yang membutuhkan hal yang sama,” imbuh Muhammad Sinen.