Rasman Buamona
(Pemuda desa yang sedang menerjemahkan Roman Romeo and Juliet, karya William Shakespeare dalam bahasa Sanana)
“Mereka yang melakukan ketidakadilan menanggung beban terbesar.” – Hosea Ballou.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Beberapa malam yang lalu saya sedang ngopi di JS Coffe yang masih sepi. Tak lama kemudian datang beberapa anak muda, juga orang-orang tua, babak-bapak haji dan beberapa orang ibu. JS Coffe mulai ramai. Orang-orang berkumpul karena akan ada pertemuan dengan Hendrata Thes, Calon Bupati Nomor Urut 3 di Posko Pemenangan Hendrata Thes dan M. Natsir Sangadji (HT-Manis) di Desa Fatce. Karena posko pemenangan berhadapan dengan JS Coffe, sehingga mereka mampir untuk menyeruput segelas kopi sebelum menghadiri pertemuan.
Hendrata Thes tiba di posko pemenangan. Rapat pun dimulai. Sebagian orang lalu meninggalkan JS Coffe untuk ikut rapat. Sebagian lagi marah dan tidak mau bergabung. Salah satu anggota tim pemenang yang duduk di meja sebelah berujar “Jang katong iko. Jang b mangamo kong nanti jadi kaco (jangan kita ikut pertemuan itu, jangan saya marah terus jadi ricuh disana). Katong so berjuang sampe ibaratnya nasi so mau isi dalam mulu baru HT pi pukul kase jatuh itu (kita sudah berjuang hingga, ibaratnya nasi sudah hampir dimasukan ke mulut, namun dipukul jatuh oleh HT)”.
Orang-orang yang tadi pergi ke pertemuan mulai kembali satu persatu. Pertemuan yang berlangsung sekitar 1 jam itu telah berakhir. Ada yang masuk ke JS Coffe dengan wajah lesu. Ada juga yang marah-marah. Dengan penuh emosi salah satu peserta rapat yang baru datang meluapkan kemarahannya ke teman-temannya dengan berkata “HT kanapa dia bicara bagitu?Dia bilang tim pamalas. Katong bangun tidor lat. Seng kontrol TPS deng Tim Desa kerja seng maksimal. Kurang ajar ini. HT ini dia so talalu Biadab lai. Masa katong so kerja lala-lala deng bulan-bulan ini baru dia bilang bagitu tu (kenapa Hendrata Theis bicara begitu? Dia bilang tim pemenangan malas, kita telat bangun tidur, tidak kontrol TPS, dan kerja tim pemenangan di tingkat desa tidak maksimal. Hendrata Thes kurang ajar. Hendrata Thes sudah terlalu biadab. Masa kita sudah kerja berbulan-bulan hingga begini lelah, tapi mengapa Hendrata Thes harus berkata begitu?). Deng harusnya tadi dia minta maaf deng minta terima kasih di katong bukan bilang bagitu (dan harusnya dalam pertemuan tadi Hendrata Thes meminta maaf dan berterima kasih kepada kita tim pemenang, bukannya berkata bagitu).
Ruangan JS Coffe mulai bergemuruh akan suka dukanya perjuangan dan kerja keras mereka. Mulai dari adanya anggota tim yang kecelakaan motor di Desa Nahi saat dalam perjalanan kampanye HT-Manis di Sula Barat. Kaki korban berlumuran darah, namun tetap mengikuti kampanye. Ada juga yang V-Belt motornya putus dan ia harus mendorong sepeda motornya sejauh 1 kilometer untuk sampai di bengkel. Tak hanya itu, banyak masyarakat di Pulau Sulabesi dan Pulau Mangoli, baik petani, nelayan, buruh, pedagang sayur, dan lainnya secara swadaya mengumpulkan uang mendirikan posko di desa-desa, menyewa motor laut, mobil, serta menghibahkan waktu dan tenaga untuk memenangkan HT-Manis dalam pertarungan Pilkada di Kabupaten Kepulauan Sula. Ada juga orang yang secara gratis menyumbang ratusan bungkus nasi di setiap kampanye HT-Manis. Semua ini dilakukan karena mereka ingin adanya perubahan, baik dari sisi ekonomi, birokrasi dan penegakan hukum di Kabupaten Kepulauan Sula.
Berbeda dengan calon wakilnya, M. Natsir Sangadji, tindakan Hendrata yang tidak keluar membangun konsolidasi dan terkesan vakum di dua hari terakhir menjelang hari pencoblosan menghadirkan banyak kecurigaan di tengah orang-orang yang telah berjuang untuknya. Kecurigaan ini makin menguat saat beredarnya informasi tentang adanya pertemuan dan kesepakatan dari kelompok tertentu yang terdiri dari A, S dan H beberapa waktu yang lalu, sehingga Hendrata Thes harus mengalah dan sengaja vakum agar salah satu calon bupati dan calon gubernur tertentu dapat meraup banyak suara di Kepulauan Sula.
Hendrata Thes boleh beranggapan bahwa kekalahannya itu hal yang wajar dan biasa-biasa saja, tetapi bagi rakyat yang sudah berjuang mati-matian selama berbulan-bulan itu adalah hal yang sangat menyakitkan. Mereka harus menanggung beban dan malu. Bagi masyarakat, kekalahan yang diderita akibat dari Hendrata yang tidak ingin menang. Hendrata Thes telah membodohi masyarakat Sula. Hendrata juga boleh berpikir jika masyarakat Sula tidak akan balik melawan dirinya karena lemah dan selalu dapat dipecah belah. Sebagai pemimpin, disitulah kelirunya Hendrata Thes. Datuk Ibrahim (Tan Malaka) pernah berkata ‘Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk”. Ini dialektika yang selalu ada dalam pergaulan hidup masyarakat terjajah. Sehingga jika masyarakat Kepulauan Sula sudah terbentuk, maka akan benar apa yang dikatakan oleh Hosea Ballou tentang beban terbesar atas ketidakadilan yang telah diciptakan akan ditanggung oleh Hendrata Thes dan keluarganya, serta kroni-kroninya.
Hendrata Thes adalah orang Sula, meskipun ia pernah diduga menistakan agama Islam, namun masyarakat Kepulauan Sula masih menerimanya, masih mau berjuang untuknya. Itulah jiwa toleransi dan kebhinekaan orang Sula. Dan jiwa orang Sula yang baik ini telah disalahartikan, dimanfaatkan, dan dikhianati oleh Hendrata Thes. Masyarakat Sula tidak selamanya bisa dibodohi dan ditipu. Saudara Hendrata Theis pasti belum pernah mendengar ‘Diatas Juanga panji AlHanafiyah manyala. Kapata taika di dada. Dari Lifmatola hingga ke Madinah. Bela bangsa menangkan agama. (**)