Faturrahman Duwila
(Sanggar Sau)
Sang mentari mengawasi dari atas sana. Motor-motor memadati sisi jalan masuk Pelabuhan Ahmad Yani. Bau laut tercium, namun aromanya sudah bercampur dengan limbah. Aku melangkah di jalan penuh debu, menuju ruang tunggu pelabuhan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Aku melirik jam di Handphone. Sedikit kesal karena sudah tiga puluh menit berlalu, orang yang ku tunggu belum juga datang. Sementara, suasana semakin ramai menandakan kapal hendak lepas landas. Ada yang baru berdatangan untuk membeli tiket, ada pula yang baru datang ke Kota Ternate. Aku sendiri memutuskan untuk membayar tiket di kapal, kemudian janjian dengan seseorang untuk berdagang. Langit Ternate kian berawan, berbarengan dengan petir yang saling bersahut-sahutan. Tampaknya akan turun hujan, namun kenapa orang itu belum datang?
Aku berdiri, memutuskan pergi ke kapal KM. Permata Obi, baru saja akan beranjak pergi, tiba-tiba mata bulat dan senyum lebarnya muncul di hadapan ku. Tubuhnya yang dibalut kaos hitam Dengan gambar Bob Marley, celana gomrangnya yang sobek-sobek, serta kakinya yang beralaskan sepatu Converse. Seolah-olah menegaskan bahwa dompet dari karung goni yang kujual, dibeli oleh orang yang tepat.
“Hai brader.” Gadis itu menyapaku. Kami berjabat tangan kemudian kembali duduk. “Maaf yah, jalanan di Bastiong agak macet,” Jelasnya. Ah, macet. Sebuah argumen, yang sudah explaer untuk dijadikan alasan. Aku tersenyum. “Enggak apa-apa.” Melihat parasnya yang harus kuakui cukup manis, rasa kesalku entah hilang ke mana.
Namanya Nur. Meski sudah beberapa kali bertukar pesan di layar handphone, ini adalah kali pertama kami bertemu. Aku kemudian mengeluarkan barang pesanannya dari dalam tas. Sebuah dompet yang kami produksi dari karung goni bekas, secara independen. Nur berniat membeli Dompet ini setelah melihat postinganku di Instagram. Gadis itu membolak-balik dompet di tangannya. Ia mengamati pesanannya, gambar tangan yang diikat dengan latar polos. “keren juga,” katanya. “Kamu yang ngedesain?”
“Bukan aku. Benda itu dibuat oleh Sanggar Sau, sanggar kami,” tuturku. Matanya berbening-bening, seakan-akan merasa tidak percaya. Iya, Nur pun sudah mengetahui tentang komunitas dari Sula yang kutekuni. “Ouh, jadi kalian membuatnya. Unik juga yah.”
Aku merasa kagum. Menghadirkan sebuah dompet dari alat-alat seadanya, jadi harus mandiri. Walaupun aku tak pernah ikut serta dalam proses pembuatan dompet, tapi tentu saja aku juga berpartisipasi dalam kegiatan berniaga. (**)