M. Raizul Zikri
Dia adalah Sena, gadis sederhana yang aku kenal lewat media sosial. Tak hanya cantik, dia juga dikenal dengan seorang aktivis. Awal kita berkenalan melalui Medsos namaku Batara.
“Hallo Sena”
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Iyah Batara”
“Kamu kuliah di mana?”
“Di jalan” jawabnya lain
“Yang serius sena”
“Iyah aku serius Batara”
“Yasudahlah” jawab ku.
Percakapan singkatpun berakhir.
Aku rasa Sena sedang berbohong tapi ini tidak penting buatku, karena yang ku inginkan hanya hatinya dan berharap bisa jadi pemenang dalam mencapai puncak kebahagiaan hati sena.
Sena adalah gadis impian ku yang sudah aku temukan namun tidak dengan hatinya mungkin belum waktunya.
Dalam beberapa hari kemudian aku coba menghubungi Sena, gadis yang ku impikan.
Dan mulai ada percakapan yang romantisme, namun tidak lama sena menyuruhku untuk beristirahat karena sudah mulai larut, tetapi diriku belum puas karena belum bisa memiliki hati sena, sehingga ada keterpaksaan dalam percakapan.
“Ini juga bentuk dari penindasan karena kamu memaksa ku untuk jangan tidur lebih dulu sebelum menjawab pertanyaan romantisme mu itu” jawab sena.
“Penindasan itu bicara soal kesepakatan apakah malam ini kamu tidak sepakat chattingan dengan ku” tanya ku pelan
“Bukan begitu batara aku akan jawab tapi belum sekarang, jam chattingan kita pun sudah terlalu larut aku butuh istirahat.”
“Yasudahlah dengan berat hati aku mengikuti kemauannya untuk beristirahat”.
Setiap hari maupun setiap jam aku selalu memikirkaan dengan cara apa untuk menaklukkan hati Sena, karena dengan berbagai macam teori cinta Kahlil Gibran dan Jalaluddin Rumi sudah aku sampaikan. Pikirku, Sena sudah mempunyai pasangan hidup ataupun Sena tidak suka lelaki yang kurang tentang pengetahuan seperti ku, tanpa ragu aku mulai chatting sena lagi.
“Apakah kamu sda mempunyai pasangan hidup Sena, sehingga kamu tidak menjawab pertanyaan dari ku, atau persyaratan apa agar bisa memilikimu?”
“Persyaratannya aku hanya ingin bertemu dengan mu, aku tidak ingin lewat chattingan”
“Aku Masi di kampung Sena, masih butuh waktu yang cukup lama untuk bertemu dengan mu”
“Itu tidak masalah, aku akan tetap menunggu mu”.
Ternyata aku salah dalam menebaknya. Sebab, Sena tidak mempunyai pasangan hidup namun Sena lebih ingin menyampaikan saat bertemu dan bertatapan.
Aku dan Sena semakin dekat, tiap hari selalu memberikan kabar dan juga percakapan-percakapan singkat tentang negara dan segala dramanya diskusi. Kita bicarakan soal perampasan ruang hidup dan juga penindasan yang itu di mediasi oleh pemerintah dan juga kapitalisme namun ada sedikit ketidaksepakatan dari Sena karena aku sempat mengungkapkan bahwa rusaknya negara ini ulah dari pada tuan-tuan.
“Sebenarnya bukan hanya tuan yg mendukung sistem penindasan yang mempralat negara tapi puan juga terseret” jawab sena.
Namun percakapan kita berakhir dengan ketidak sengajaan aku tertidur tanpa memberitahu ke Sena.
Sejauh apapun percakapan dengan Sena, do’a ku hanya bisa meluluhkan hatinya dan bahagia bersamanya seumur hidup.
Bersambung…