Salman Alfaruk Pora
(Sanggar Sau)
Seberapa panjang perjalanan? Semua adalah kuasa Tuhan, jutaan makhluk hanya menjalaninya tanpa henti, kadang lelah, kadang juga gembira. Dari banyak ciptaannya itu, ada satu sosok berparas jelita di antaranya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sosok itulah yang selalu diimpikan Petro, lelaki berketurunan Sula. Betapa tidak, hampir setiap saat Petro selalu bermunajat kepada sang pencipta agar mempertemukannya dengan wanita idamannya.
Rupanya doa itu didengarkan oleh Tuhan. Tak sengaja ia bertemu dengan gadis berlesung pipi itu di persipangan jalan. Ia begitu kagum. Parasnya begitu sederhana, tapi sangat nirmala.
Di waktu yang sesingkat itu, Petro mulai mengumpulkan nyali untuk menghampiri wanita itu, tujuannya hanya sekedar ingin kenalan. Meskipun begitu, obrolan mereka cukup lama. Namanya adalah Tari.
Setelah memberi tahu namanya, Tari lalu pamit pergi. Sungguh, Petro dibuat penasaran olehnya, sebab kepergiannya tanpa diketahui Petro, meskipun sudah sempat ditanyakan.
Tari hanya meninggalkan satu pesan, sejauh apapun kita melangkah, tuhan akan mempertemukan kita kembali. Itupun kalau kamu percaya dengan adanya takdir sang kuasa.
Kalimat itu membuat Petro menjadi gunda gulana. Pikirannya melalang buana ke mana-mana. Setiap hari ia ditikam rasa penasaran. Tetapi, dengan penuh keyakinan Petro percaya bahwa pesan itu akan dikabulkan suatu saat.
Siang dan malam terus berganti. Petro kembali menelusuri tempat itu. Padahal sejak bertemu, mereka telah membuat janji bahwa akan kembali bertemu di tempat tersebut.
Malam itu cuaca begitu cerah, bintang-bintang di langit bertebaran di mana-mana. Meskipun sedikit gelap dan sunyi, Petro tak pernah mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan Tari.
Penantian itu begitu menggebu-gebu. Sesekali Petro membakar sebatang rokok untuk menghilangkan rasa penat. Namun, tak mampu mengusir rasa gelisah itu.
Dalam kesendirian, Petro lalu bertnya pada semesta, siapakah pemilik kesepian, ia yang pergi meninggalkan lalu menitip pesan, ataukah dirinya yang hampir mati dihunus rasa cinta.
Sudah berjam-jam, Tari tak juga kunjung datang, Petro bertekad untuk kembali ke rumah. Rasa putus asa mulai menghantui pikirannya. Hal itu dikarenakan terlalu lama menunggu wanita pujaannya itu.
Namun, dengan adanya rasa penasaran yang belum terbayar, pada keesokan harinya, Petro kembali mendatangi tempat itu. Tempat yang sangat memanjakan mata, karena dihiasi laut yang luas dan gunung yang indah.
Tetapi, sebelum sampai, Petro sempat melihat sosok berambut panjang duduk di tempat yang ia duduk semalam. Dalam hatinya, itulah sosok jelita yang sangat dinantikan.
Merasa penasaran, Petro lalu mempercepat langkahnya, itu dilakukan karena tidak lagi sabar untuk bertemu Tari. Benar saja, sosok berambut panjang itulah yang membuatnya mabuk kepalang.
“Hello,” sahut Tari pelan.
“Hello juga,” jawab Petro dengan nada penuh gembira sembari memegang setangkai bunga.
“Silahkan duduk,” kata Tari.
Petro mulai duduk di sebelah Tari, gerakannya terlihat begitu kaku. Entah kenapa, hari ini ia begitu panik bertemu dengan Tari. Padahal pertemuat ini yang selalu dinanti-nantikan.
“Dari sekian lama rasa sabar yang kau lalui, hanya ingin bertemu denganku, kini takdir kembali pertemukan kita berdua,” kata Tari mengawali percakapan.
“Kelihatannya kau sangat kaku ketika duduk berbicara denganku hari ini. Sudahlah, aku bukan orang jahat,” lanjut Tari.
“Aku tak berpikir seburuk yang kau sebut,” ucap Petro sembari menatap wajah Tari.
Setelah berbincang cukup lama, mereka kemudian kembali berpisah. Tetapi, satu hal yang paling istimewa dari pertemuan itu adalah, rasa gelisah yang selama ini mengahantuinya, berubah menjadi rasa syukur yang sangat dalam.
Sebab, puncak tertinggi dari pentian adalah pertemuan, dan perjalanan panjang dalam hidup membutuhkan pendamping. Karena Tuhan telah menciptakan manusia untuk hidup berpasang-pasangan.
Hingga tubuh kian menggigil diterpa angin, Petro kembali menitip doa di bawah langit, berharap agar tetap bertemu kembali dengan pujaan hatinya itu.
Sebulan telah berlalu, Petro kembali mendatangi tempat itu. Di sana, jiwanya telah bersemayam tenang di hiasi malam, merenung sambil menghirup udara dan menikmati asap tembakau.
“Akankah kau akan kembali kesini lagi,” lirih Pertro dalam hati.
“Aku akan terus berdialog dengan kuasa, meminta kepadanya kembalikanmu ke tempat sederhana ini, kita duduk bersama, kau ceritakan keluhmu, agar dapat ku jamu dengan imajinasiku, hingga rasa yang terpenggal di nadimu, menyatukan kita kembali menjadi utuh,” ucap Petro penuh harap.(*)