Sore itu di suatu taman, pencahayaannya begitu remang. Bagian barat tersedia tempat duduk dan kelilingi berbagai bunga-bunga yang sangat indah.
Aromanya begitu semerbak. Orang-orang suka bepergian ke tempat itu untuk menikmati pemandangan indah. Sebab, desainnya begitu modern.
Tidak hanya di bagian barat. Sebelah utara juga terdapat tempat duduk dan dua ayunan yang memanjakan mata. Itulah mengapa taman itu sangat ramai dikunjungi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara, bagian selatan tersedia kolam dengan berbagai macam ikan hias. Warnanya sangat fariasi. Ada yang berwarna orange campur putih, biru hitam, merah putih dan masih banyak lagi.
Di samping kolam itu juga dikelilingi tanaman bunga yang begitu indah. Ketika melihat itu, aku bisa merasakan ketenangan dan kedamaian melalui pancaran sinarnya.
Taman itu begitu luas, banyak sekali pengunjung. Di saat sedang berjalan-jalan, betapa kagetnya ketika melihat sosok yang membuat aku begitu terkejut. Orangnya tidak asing.
Dari kejauhan 20 meter, terlihat ia berdiri di arah selatan samping tempat duduk, sembari menghadap ke pantai, menatap indahnya senja yang hampir hilang.
Ia membelakangiku. Meski sedari tadi menatapnya, aku yakin ia tidak menyadari kehadiranku. Sayangnya, aku hanya melihat setengah dari wajah itu, namun cukup menggetarkan hati.
Tak kuasa menahan apabila tidak mendekatinya, namun di sisi lain ada rasa takut kalau nantinya ia menolak kehadiranku. Rasa itu terus menghantuiku.
Apa boleh buat, aku perlahan memberanikan diri dan membuang langkah satu per satu sembari mencoba menatap wajah sosok misterius itu.
Tak lama berjalan, aku menghentikan langkahku, sungguh aku dibuat gelisah oleh hati dan pikiranku sendiri, antara rasa takut dan rasa yang ku sendiri tak mampu untuk mendefinisikannya.
Hampir sejam ku habiskan untuk berfikir, namun perlahan kuputuskan untuk mendekati apapun resikonya. Ku ayunkan langkahku sembari mengucapkan bismillah.
Ketika jarak kita kurang lebih dua meter, nyaliku seketika langsung menciut. Entah hilang kemana. Akupun sudah tidak mampu lagi untuk berkata.
Apabila nyali itu seperti benda, akan ku genggam seerat-eratnya agar ia tidak meninggalkanku disaat seperti ini. Rasanya begitu tersiksa. Akhirnya kubulatkan tekad untuk menyapanya.
“Hay, apa yang sedang kamu lakukan sendirian di sini.” Tanyaku dengan nada sedikit pelan.
Herannya, lelaki itu sama sekali tidak kaget dengan kedatanganku, bahkan ia terlihat begitu tenang. Sialnya lagi, tidak menjawab pertanyaanku.
“Apakah aku mengganggumu? Sepertinya kamu sedang menunggu seseorang. Aku kembali bertanya dengan dua pertanyaan sekaligus.
“Tidak, kamu tidak mengganggu. Iya, kebutulan aku sedang menunggu seseorang.” Jawabnya dengan pandangan lurus kedepan membelakangiku.
“Wah, siapa yang kamu tunggu.” Tanyaku lagi, kali ini sedikit kepo.
“Siap lagi kalau bukan kamu.” Katanya dengan nada sedikit kencang tapi kedengaran manja.
Setiap pertanyaan yang dijawab, lelaki itu masih terus membelakangiku. Seakan tidak mau melewatkan pandangan saat senja hampir tenggelam di sore itu.
Suaranya begitu merdu dan mendatangkan ketenangan. Saat ia mulai berbalik, aku dikagetkan dengan suara ketukan pintu oleh ibuku.
Ternyata, aku hanya mimpi, ibuku menyuruhku untuk bangun sholat subuh. Dengan rasa malas, aku bangun dan duduk di samping ranjang sambil menjulurkan kaki ke lantai.
Sontak, aku kembali terpikirkan mimpi yang baru saja ku alami, dan menurutku itu teras nyata. Aku tiba-tiba merasa penasaran akan sosok yang hadir dalam mimpi itu.
Terlebih lagi, soal jawaban yang dilontarkan tadi, apakah benar ia menungguku. Ahh, sudah lah, mungkin ini hanya mimpi saja. Tetapi kalau nyata aku begitu senang.
Ibu kembali mengetuk pintu, kali ini cukup kencang, membuatku terkejut. Usai mengusap wajah, aku mulai mengambil air yang sudah disiapkan di atas meja, lalu meneguknya hingga habis.
Aku bergegas mengambil air wudhu, kemudian bersama ibuku melaksanakan sholat subuh berjamaah.
Usai sholat, aku kembali ke kamar. Depan meja belajar, sambil menopang dagu aku teringat kembali dengan mimpi tadi. Aku seakan pernah bertemu dengannya.
“Tapi siapa dia.” Tanyaku dalam hati dengan tatapan kosong ke arah jendela kamar. (**)
Penulis : Mila Arman