RAKYATMU.COM – Akademisi Universitas Khairun Ternate, Maluku Utara, Sudaryanto merasa janggal dengan putusan Pengadilan Negeri (PN) Ternate Nomor 72/Pdt.G/2022/PN Tte tertanggal 24 Mei 2023, perihal perbuatan melawan hukum atas objek sengketa lahan di kawasan Kantor Dinas Perhubungan, Jalan Mononutu No. 86, Kelurahan Tanah Raja.
Ternyata, perkara itu, sebelumnya telah diputuskan PN Ternate Nomor 03/Pdt.G/2008/PN.Tte tertanggal 15 Desember 2008 dan putusan tersebut dibatalkan oleh putusan Pengadilan Tinggi (PT) Maluku Utara Nomor 07/Pdt/2009/PT.MALUT tertanggal 19 maret 2009.
Bahkan Putusan PT, diperkuat dengan putusan Mahkamah Agung (MA) No. 2139 K/Pdt/2009 tertanggal 04 Mei 2010, bahwa MA menolak kasasi dari pemohon kasasi/penggugat/pembanding.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lebih jelasnya, putusan PN Ternate Tahun 2008 itu, telah dibatalkan dan diadili sendiri melalui putusan banding ke MA Tahun 2009 yang amarnya menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya.
Sudaryanto menyampaikan, bukan putusan tidak dapat diterima atau putusan NO (Niet Ontvankelijke Verklaard). Apalagi Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Menurut majelis hakim pengadilan tinggi Maluku Utara, dalam pertimbangannya. Sebab, kata dia, berkaitan dengan penerbitan SHM (Surat Hak Milik) Nomor 65.
Bila dihubungkan dengan akta jual beli yang mendasari penerbitan SHM, ada kejanggalan yaitu dua surat tersebut sama-sama dibuat pada waktu yang sama yakni pada tanggal 14 Januari 2003.
“Dalam praktek tidak mungkin dalam suatu jual beli kemudian dilanjutkan dengan penerbitan suatu SHM dapat diselesaikan dalam waktu yang sama (satu hari/tanggal 14 januari 2003),” ungkapnya.
Ia pun mengungkapkan kejanggalan lainnya dalam penerbitan SHM Nomor 65 tertanggal 14 januari 2003 adalah bahwa SHM Nomor 65 yang asalnya merupakan pecahan/pemisahan dari asal Hak Milik Nomor 34.
Yang mana bila dirujuk kepada peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah dalam pasal 48 yang isinya:
- Atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan, satu bidang tanah yang sudah didaftar dapat dipecah secara sempurna menjadi beberapa bagian, yang masing-masing merupakan satuan bidang baru dengan status hukum yang sama dengan bidang tanah semula.
- Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk tiap bidang dibuatkan surat ukur, buku tanah dan sertifikat untuk menggantikan surat ukur, buku tanah dan sertifikat asalnya.
- Jika hak atas tanah yang bersangkutan dibebani hak tanggungan, dan atau beban-beban lain yang terdaftar, pemecahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) baru boleh dilaksanakan setelah diperoleh persetujuan tertulis dari pemegang hak tanggungan atau pihak lain yang berwenang menyetujui penghapusan beban yang bersangkutan.
- Dalam pelaksanaan pemecahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang mengenai tanah pertanian, wajib memperhatikan ketentuan mengenai batas minimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lebih jauh ia berpatokan pada dasar bukti surat P-III berupa surat keterangan yang diterbitkan dan ditandatangani oleh Bupati Maluku Utara no. 593.82/093 tanggal 10 Januari 2003 menerangkan bahwa di atas tanah terperkara/objek perkara diatasnya terdapat bangunan Kantor Dinas Kehutanan Kabupaten Maluku Utara.
Begitu juga berdasarkan keterangan saksi-saksi tergugat/terbanding maupun saksi-saksi penggugat/pembanding semuanya menerangkan bahwa di atas tanah objek sengketa sebelum sertifikat hak milik no. 65 diterbitkan sudah ada bangunan Kantor Pemerintah.
Ia menjelaskan, Majelis hakim Pengadilan Tinggi juga menyatakan bahwa bila dicermati hubungan antara pelaksanaan pendaftaran tanah sesuai dengan PP N0. 24 Tahun 1997 dengan telah adanya hak atau beban-beban lain, yang dalam hal ini adanya bangunan kantor pemerintah di atas tanah objek perkara sebelum penerbitan SHM No. 65 tersebut.
“Mestinya pejabat BPN, yang akan memproses dan menerbitkan SHM No. 65 dimaksud baru boleh dilaksanakan pendaftarannya setelah diperoleh persetujuan tertulis dari pemegang hak atau pihak lain yang berwenang untuk menyetujui yang pada itu adalah pihak Kantor Dinas Kehutanan Kabupaten Maluku Utara, artinya pejabat BPN dan atau pejabat lain berkaitan untuk maksud tersebut sudah tidak melakukan asas-asas umum pemerintahan yang baik,” jelasnya.
Mestinya pertimbangan-pertimbangan pengadilan tinggi ini harus juga menjadi pertimbangan sehingga ada sinkronisasi, dan harmonisasi antara putusan yang satu dengan putusan yang sebelumnya.
“Bukan malah membuat gaduh atas putusan pengadilan yang terbaru dengan putusan pengadilan tinggi sebelumnya. Dengan demikian tidak ada yang salah jika putusan ini diuji ke Badan Pengawas Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial RI,” pungkasnya. (**)
Penulis : Diman Umanailo
Editor : Diman Umanailo