Jangan!
Jangan lakukan itu!
Suara itu terus menderu terdengar di balik semak belukar. Jeritan kesakitan semakin menggema diikuti tangisan. Waktunya cukup lama, tapi tak satupun orang mengetahuinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Malam tambah larut, hujan deras menyaksikan kekejaman itu. Lumuran darah terpencar di sela-sela dedaunan. Suara itu perlahan mulai hilang ditelan kebisingan.
Sebilah parang mengkilap baru saja dicabut dari tubuh yang tergeletak. Darahnya menyemburkan bagaikan air mancur. Sosok itu tak lagi berdaya, terkapar kehilangan nyawa.
Melihat mayat itu, wajahnya memancarkan kesenangan. Memperlihatkan rasa kepuasan. Senyumnya terlihat seperti hewan buas yang sukses berburu mangsa di tengah hutan.
Misi telah kelar, ia kemudian berbalik meninggalkan tubuh yang tergeletak itu tanpa iba. Sebilah pedang di tangannya masih dibaluti darah. Bahkan sekujur tubuhnya menimbulkan aroma tak sedap.
***
Tiga tahun sebelum pembantaian itu terjadi, Agas mulai meninggalkan kampungnya sejak berusia 20 tahun. Pergi dengan berat hati, sebab meninggal orang yang dicintai sungguh begitu perih.
Bagi Agas, merantau dapat mendatangkan peluang besar merubah derajat hidup, tanpa mengenal cinta lain. Dalam hatinya begitu sungguh-sungguh mencari kerja, bukan sebaliknya untuk berhura-hura.
Demi membuktikan cintanya, lelaki berambut ikal itu harus bisa mengubah statusnya menjadi seorang pekerja keras, sehingga tidak diremehkan oleh keluarga wanita yang saat ini menjadi kekasihnya.
Sebab, keinginan untuk menikahi orang yang dicintainya itu harus tertunda, karena keluarga wanita tidak merestui hubungan mereka berdua. Alasannya adalah kepribadian dan kehidupan Agas yang tak jelas di mata keluarga berdarah Arab itu.
Untuk mendapatkan restu, tentu hanya ada satu cara, yakni harus menjadi lelaki yang sukses dan mempunyai masa depan cerah. Sebagaimana yang diinginkan oleh keluarga berketurunan pengusaha di kampungnya itu.
Rela menahan beratnya rindu. Tak kuasa menanggung beban pilu. Sungguh, Agas begitu tenggelam di dalam lembah kesendirian tak seorang pun tahu.
Niat baiknya itu rupanya membawa hasil. Meskipun hanya bermodal ijazah SMA, Agas berhasil mendapat pekerjaan disalah satu kantor yang juga sangat diidamkan banyak orang di kota maju itu.
Seperti mustahil, namun itulah nasib. Agas dihubungi langsung oleh Direktur utama kantor itu lantaran seminggu lalu ia sempat menyelamatkan nyawa anak semata wayangnya yang masih berusia tujuh tahun. Laila namanya.
Di mana, pada saat itu, Agas sempat memasukan berkasa lamarannya. Namun saat keluar dari kantor tersebut, terjadi gempa bumi yang sangat kencang, sehingga mengakibatkan sejumlah bangunan roboh.
Namun, di sela-sela kepanikannya menghindar dari reruntuhan bangunan itu, Agas sempat mendengar teriakan anak kecil di balik tembok yang di chat berwarna kuning muda tersebut.
Sontak rasa iba untuk menolong hadir begitu saja. Soal nyali sudah tidak diragukan lagi. Sebab Agas adalah lelaki yang begitu berani dan bermental baja. Spontan ia langsung memasuki ke dalam bangunan itu.
Beruntung, nasib baik masih berpihak kepada Laila. Sehingga hanya terdapat sedikit bercak darah pada kaki dan tangannya. Sementara di sisi bangunan terdapat lubang besar, namun tidak sampai seminggu sudah dilakukan perbaikan.
Mulai dari situ, nasib Agas mulai berubah secara perlahan. Hingga suatu ketika Direkturnya itu harus keluar kota untuk membuka kantor cabang. Kebetulan cabang tersebut bakal dipercayakan kepada Agas untuk menjadi manajernya.
Rupanya, kantor cabang yang dibangun itu terletak di kabupaten di mana adalah tempat kelahiran lelaki dari tiga bersaudara itu. Ketika mendengar informasi dari mulut Direktur utamanya itu Agas begitu senang tiada dua.
Betapa tidak, ini merupakan peluang besar agar bisa berjumpa dengan keluarga besarnya yang ada di kampung halaman. Yang pastinya tidak lupa juga untuk menemui belahan jiwanya, yakni Sitti Anisa.
Sungguh, ekspektasi begitu berbeda dengan realita. Sahabat yang selalu mendukungnya kini telah mengambil peran menggantikan posisinya, karena karakternya yang sangat jauh berbeda dengan Agas.
Selama bertahun-tahun meniti karir di perantauan, ternyata sahabatnya telah diam-diam menjalin hubungan mesra dengan Anisa saat ia sedang berjuang keras untuk menghalalkannya.
Ketika sepulangnya di kampung halaman, dengan maksud menunjukkan hasil perjuangannya selama ini kepada Anisa bahwa dirinya sudah layak menghalalkannya.
Saat sedang duduk berdua, saling bercanda melepaskan rindu, tidak sengaja ada pesan WhatsApp yang masuk saat Agas sedang memegang handphone Anisa. Terlihat kontak itu bertuliskan nama Jison, yang tak lain adalah sahabat sendirinya.
“Kita perlu berbicara serius tentang hubungan kita Anisa,” demikian isi pesan yang masuk dari Jison.
Agas menjadi kaget bukan kepalang. Ini jauh di luar pikirannya. Merasa penasaran, Agas lalu membalas isi pesan tersebut seakan-akan Anisa yang sedang memegang handphonenya.
“Iya,” balas Agas singkat.
Namun saat itu, sakit hati telah menusuk-nusuk di sekujur tubuhnya. Wajah senyum berubah menjadi kejam. Ditambah rasa kesal ketika melihat wajah Anisa. Sontak niat busuk menghantui pikiran. Seperti dirasuki roh iblis.
Tanpa isyarat, Agas lalu kemudian meninggalkan Anisa begitu saja. Tidak hanya itu, setibanya di rumah, ia mulai merencanakan sesuatu yang sulit dipercaya. Pasalnya, api cemburu telah menguasai dirinya.
Dari situ, Agas mulai mencari tahu aktivitas Jison. Ternyata lelaki berstatus guru mengaji itu masih menjalani kehidupannya sebagai seorang petani kelapa. Kebutulan, sebentar sore Jison bakal pergi melakukan pengasapan kopra.
Mengetahui itu, sejak pukul 21.00, Agas mulai pergi menelusuri lokasi tempat Jison bekerja. Letaknya tidak begitu jauh, berkisar 1 kilometer dari arah perkampungan.
Di balik semak belukar, Agas kemudian mengintip aktivitas Jison yang sedang beristirahat sembari meneguk secangkir kopi buatannya yang di bawah dari rumah. Saat itu pula hujan mulai turun.
Merasa waktunya sudah tiba, Agas mulai melancarkan aksinya. Tangan yang sedari tadi menggenggam sebilah parang itu tampak begitu gemetar, seakan tak kuasa menyemburkan amarah yang ada di dalam dadanya.
Tak mau keberadaanya diketahui oleh Jison, Agas perlahan berjinjit menghampiri musuhnya itu dari arah belakang, kemudian melepaskan serangannya tepat di leher bagian kanan.
Jison mulai tersungkur dari tempat duduknya. Kucuran darah berhamburan di mana-mana. Teriakan minta tolong tak dihiraukan sedikitpun. Agas kemudian mendekat dan mengambil gerakan kedua kalinya.
Kali ini, gerakan itu sangat berbeda, tarikan tangan yang dilayangkan cukup kencang. Kendati Jison telah memohon penuh harap, namun rasa kasihan tidak sedikitpun terlintas di benak lelaki separuh setan itu.
“Jangan!
Jangan lakukan itu,” permohonan itu menjadi kalimat terakhir buat Jison.
Parang itu lalu kembali melekat di atas kepala Jison. Tarikan nafas terakhirnya itu seakan menjadi lelucon di hadapan Agas, sambil melebarkan tangan, ia mulai tertawa lepas di tengah derasnya hujan.
“Aku sangat puas, hahahaha. Mampus kamu. Berani-beraninya merebut Anisa dariku.” Ucap Agas meninggalkan jenazah itu. (*)
Penulis : Suhartono Duwila