RAKYATMU.COM – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ternate didesak untuk memutuskan kerugian negara dalam kasus korupsi belanja tak terduga (BTT) tahun 2021 di Kepulauan Sula senilai Rp5 miliar, bukan Rp1,6 miliar sesuai hasil perhitungan dari Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan (BPKP) Maluku Utara.
Pasalnya, proses pengadaan bahan medis habis pakai (BMHP) senilai Rp5 miliar tidak sesuai dengan mekanisme. “Sejak awal pengadaan ini sudah bermasalah, karena dilakukan pembayaran sebelum barang tiba. Apalagi pencairan dilakukan tanpa adanya berita acara penyerahan barang, berita acara serah terima barang, dan berita acara penghitungan barang oleh Muhammad Bimbi selaku pejabat pembuat komitmen (PPK),” tegas penasehat hukum Abdulah Ismail, Selasa (14/10/25).
Apalagi lanjutnya, anggaran tersebut dipaksakan untuk dicairkan oleh Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan Kepulauan Sula, Almarhum Baharudin Sibela atas desakan dari anggota DPRD Kepulauan Sula, Lasidi Leko hanya dengan berbekal hasil review dan surat permohonan pencairan. Padahal itu jelas-jelas telah menyalahi aturan yang ada.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Terlebih lagi, pengadaan BMHP itu harusnya sudah ada di Kepulauan Sula sejak 6 Desember tahun 2021, karena waktu pengerjaan selama 60 hari atau dua bulan. Itu terhitung mulai dari 8 Oktober hingga 6 Desember 2021. Namun barangnya belum juga ada pada saat itu, sementara anggarannya sudah dicairkan kepada penyedia PT. HAB Lautan Bangsa.
Sehingga secara jelas bahwa, kerugian negara yang nyata itu adalah senilai Rp5 miliar, bukan Rp1,6 miliar. Hal ini juga sejalan dengan keterangan dari saksi ahli Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) bahwa, ketika barang belum tiba pada saat tanggal yang ditetapkan maka, PPK berkewajiban untuk menolak melakukan pencairan atau pembayaran.
Namun, ketika dipaksakan untuk dilakukan pencairan maka tentu bertentangan dengan aturan yang berlaku. Apalagi pencairan dilakukan dengan menggunakan cek yang ditandatangani oleh Almarhum Baharudin Sibela yang pada saat itu sudah tidak lagi menjabat sebagai Plt Kepala Dinas Kesehatan Kepulauan Sula. Untuk itu, semua pihak yang ikut terlibat dalam pencairan ini harus ikut bertanggung jawab soal hal ini.
“Ini menjadi dasar oleh Majelis Hakim untuk mengambil keputusan sesuai fakta persidangan. Hakim bisa memutuskan kerugian negara yang sesungguhnya itu adalah senilai Rp5 miliar, bukan 1,6 miliar lebih, sebagaimana fakta di persidangan, perhitungan yang dilakukan oleh BPKP tidak dilakukan secara menyeluruh. Tetapi hanya mengambil sampel pada 7 Puskesmas, sementara sisanya tidak dihitung,” ucapnya.
Abdulah menambahkan, hal ini sudah terungkap dalam fakta persidangan sebagaimana diakui oleh pihak BPKP sendiri saat dihadirkan menjadi saksi ahli dalam sidang terdakwa Muhammad Bimbi dan terdakwa Muhammad Yusril, dimana saksi ahli beralasan kalau mereka kekurangan staf, ditambah lagi jumlah BMHP terlalu banyak, sehingga tidak bisa dilakukan penghitungan secara keseluruhan.
Dikatakan juga, apalagi BMHP yang ditampung di dalam gudang kantor Dinas Kesehatan Kepulauan Sula itu terlalu banyak. Bahkan waktu yang diberikan kepada pihak BPKP Maluku Utara itu hanya selama 21 hari, sehingga dinilai sudah sangat sempit untuk dilakukan penghitungan secara keseluruhan”.
“Hasil perhitungan ini sangat prematur dan tidak bisa dijadikan dasar perhitungan kerugian sehingga. Kami berharap Majelis Hakim dalam memutuskan perkara ini dapat melihat berdasarkan fakta yang terungkap di dalam persidangan. Kalau sudah ada pengembalian senilai Rp1,6 miliar dari terdakwa Muhammad Yusril maka, masih ada sisa kerugian negara yang belum dapat dipulihkan senilai Rp3 miliar lebih,” pungkasnya. (**)
Editor : Redaksi