Oleh: Ali Akbar Muhammad
Tahun 2023 merupakan tahun dimana para politisi dan partai-partai politik mulai mempersiapkan kekuatan menuju tahun pesta demokrasi 2024. Wacana tentang pesta demokrasi tersebut mulai terdengar dari pusat hingga kepedesaan.
Setelah rezim orde baru tumbang, masyarakat kini tidak lagi takut berpolitik. Banyak masyarakat era reformasi mulai secara sadar berorganisasi, menyampaikan pendapat hingga secara terang-terangan berani berpolitik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Beberapa bulan terkahir ini saya membaca media online dan cetak, para akademisi hingga politisi mulai berbicara tentang politik identitas. Mereka menganggap bahwa politik identitas sangat membahayakan kondisi politik menuju pesta demokrasi tahun 2024.
Tetapi bagi saya politik identitas/SARA tidak tepat untuk menganalisa situasi dimana rakyat terpecah belah ketika momentum politik pesta demokrasi diadakan. Karena politik identitas/SARA mengambaikan analisa perjuangan kelas dalam akar kepentingan kelas dibalik penggunaannya. Rasisme dalam pengertian saya merupakam sebuah ideologi yang dibentuk oleh relasi produksi sistem kapitalisme. Ia membentuk cara berpikir masyarakat untuk saling mendiskriminasi.
Di Maluku Utara, politik rasisme seringkali digunakan oleh politisi borjuis maupun partai-partai borjuis untuk meraih kemenangan dalam pesta demokrasi. Mereka memainkan sentimen rasisme dengan membentuk nasionalisme kedaerahan seperti MAKAYOA (Makian Kayoa), TOGALE (Tobelo Galela), begitupun daerah seperti Ternate, Tidore, Halmahera Tengah dengan Fagogoru, Halmahera Timur, Sanana dan Taliabu. Para politisi borjuis dan partai borjuis terus memproduksi rasisme untuk kepentingan mereka.
Politik rasisme di Maluku Utara bukan muncul secara tiba-tiba saat ini. Tetapi politik rasisme telah ada sejak corak produksi feodalisme. Bisa kita belajar dari sejarah feodalisme di Maluku Utara, mereka membangun sistem dengan sangat diskriminatif. Feodalisme menganggap bahwa masyarakat yang hidup sebagai hamba sahaya dilingkungan feodalisme dan di Kepulauan Halmahera adalah suku dan ras yang tidak bisa menjadi raja.
Masyarakat hamba sahaya dan masyarakat Halmahera hanya dipandang oleh feodalisme sebagai hamba sahaya yang digunakan untuk memperkaya pihak feodal melalui pembayaran upeti. Tak heran banyak pemberontakan-pemberontakan lokalitas untuk melawan sistem feodalisme.
Perkawinan antara kolonialisme dan feodalisme di Maluku Utara melahirkan kapitalisme cangkokan. Turut memperpanjang politik rasisme. Kita masih ingat kolonialisme Spanyol dan Portugis mereka sukses menerapkan politik rasisme dengan model “the vide et impera”. Atas dukungan Feodalisme untuk meraih kekuasaan dan menguasai rempah-rempah di Maluku Utara masyarakat hamba sahaya dari dua wilayah tersebut harus menjadi korban.
Begitupun ketika kolonialisme Belanda mulai menjajah Maluku Utara. Lewat organisasi dagang VOC, kolonialisme Belanda melancarkan praktek politik rasisme untuk meraih profit. Ekpedisi hongi atau dikenal dengan hongitochten.
Berkat dukungan feodalisme Cengkih yang ada di Makeang dibabat habis dengan dalih harga akar pohon cengkih lebih mahal. Taktik itu digunakan untuk mengilusi masyarakat Makeang agar tidak tau kalau harga cengkih sedang melambung tinggi. Lain dari pada itu lewat kebijakan cultuur stelsel, masyarakat Makeang secara tidak sadar dipaksa untuk menanami tanaman kanari.
Kebutuhan pasar internasional saat itu, membutuhkan minyak goreng maka kolonialisme Belanda memaksa masyarakat Makeang untuk membuat minyak goreng (pembuatan minyak goreng dikenalkan pertama kali oleh Kolonial Belanda). Ekspedisi hongi tersebut hingga kini berakar kuat sentimen rasisme antara orang Makeang dan Ternate.
Setelah Indonesia merdeka, upaya untuk menghapus politik rasisme terus dilakukan. Pendidikan-pendidikan politik untuk menumbuhkan kesadaran kelas kepada rakyat Indonesia secara masif. Rskyat didorong untuk terlibat dalam aktivitas organisasi maupun partai politik. Persatuan Nasional digaungkan untuk melawan kolonialisme, kapitalisme dan imprealisme.
Namun kelompok-kelompok kontra revolusi Indonesia yang bekerja sama dengan imprealisme Amerika Serikat memproduksi isu sentimen anti komunis dan berhasil mendompleng Soekarno dari kekuasaan, orang-orang komunis dibunuh beserta para pendukung Soekarno dan kelompok-kelompok agama progresif.
Malapetaka itu dikenal dengan Operasi Jakarta (Kerja sama militer, organisasi reakasioner, dukungan CIA dan imprealisme AS). Orde Lama digantikan dengan Orde Baru politik rasisme kembali dikumandangkan. Orde Baru melarang segala sesuatu yang berbau Cina. Segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Cina tidak boleh dilakukan lagi. Hal ini dituangkan ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967.
Di samping itu, masyarakat keturunan Cina dicurigai masih memiliki ikatan yang kuat dengan tanah leluhurnya dan rasa nasionalisme mereka terhadap Negara Indonesia diragukan. Sehingga, keluarlah kebijakan yang amat diskriminatif terhadap masyarakat keturunan Cina baik.
Selain itu juga dikeluarkan Surat Edaran No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat itu disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya menjadi nama yang berbau Indonesia, misalnya Sun Yat Po menjadi Kartinah, penggunaan bahasa Cinapun dilarang.
Lebih dari itu pergerakan masyarakat Cinapun diawasi oleh sebuah badan yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi Intelijen (Bakin) (Kakarisah, 2010).
Tak hanya itu diskriminasi terhadap ideologi dan kepercayaan masif dilakukan. Bentuknya seperti pelarangan terhadap ideologi komunis dan kepercayaan diluar 4 agama besar. Selain itu untuk menjauhkan masyarakat dari perjuangan kelas Soeharto menambahan jangan bertentang Antar Golongan.
Antar Golongan disini iyalah borjuis dan proletar tidak boleh saling bertentangan. Padahaal kedua kelas ini secara materialisme historis akan tetap saja bertentangan selama relasi produksi masih didominasi oleh kelas borjuis.
Hingga kini pasca tergulinya Soeharto Politik Rasisme masih saja terus mendapatkan tempat disaat momen-momen pesta demokrasi (maupun dalam kehidupan sehari-hari). Di Maluku Utara politik rasisme diproduksi dengan mengeksploitasi religius masyarakat Maluku Utara. Ketika militer mulai kehilangan tras dari masyarakat Indonesia. Mereka lalu memproduksi politik rasisme dalam bentuk konflik berbasis SAR (Suku, Agama, Ras).
Masih ingat dalam ingatan tahun 1999 s/d tahun 2000 masyarakat Maluku Utara beragama Islam dan Kristen menjadi korban dari kepentingan militer, oligarki , dan kapitalisme pertambangan. Kondisi tersebut terus membentuk pola pikir rasis di isi kepala masyarakat Maluku Utara. Hingga setiap hari rasisme terus hidup dan setiap mometum pesta demokrasi masyarakat terus dieksploitasi dengan politik rasisme.
Masifinya kapitalisme industri pertambangan di Maluku Utara, selain mengeruk sumber daya alam, turut berkontribusi memperpanjang politik rasisme. Dalih pembangunanisme untuk kesejahteraan justru nihil di realita. Pasalnya kehadiran berbagai perusahaan tambang tersebut, hanya memperkaya orang kaya menjadi kaya.
Lapangan pekerjaan terbuka namun jaminan upah layak, jaminan keselamatan kerja, jaminan pendidikan gratis, jaminan kesehatan gratis, dan lain-lain yang menyangkut dengan kesejahteraan sulit sekali diakses oleh masyarakat. Kasejahteraan tak kunjung datang, elit-elit borjuis lokal-nasional berkelindan bersama militer dan pengusahan dalam model politik klientelisme terus memproduksi politik rasisme untuk memecah bela masyarakat.
Pembunuhan, teror, kekerasan berbasis horizontal, pemerkosaan, kriminal, dll masif terjadi. Sentimen anti pendatang dan sentimen anti tenaga kerja asing (china) terus juga di produksi. Agar masyarakat Maluku Utara tidak bisa melihat musuh mereka sebenarnya.
Kini menjadi pertanyaan mendasar bagi kita semua apakah politik rasisme tidak bisa dihapuskan? Karena dari semua jawaba para akdemisi dan politisi borjuis ketika menjelaskan solusi dari politik rasis (yang mereka sebut politik identitas) sangan postmoderenisme (serampangan). Bagi saya politik rasisme bisa dihapuskan. Hanya jika kita semua berani membuka diri untuk menerima politik kelas.
Politik kelas yang dimaksud adalah meyakini politik kelas pekerja. Pertama politik kelas pekerja melihat bahwa suku, ras, agama, etnis bukanlah sesuatu yang harus menjadi problem. Tetapi problem dari kita semua ialah kesamaan nasib sama-sama ditindah oleh kelas borjuis dalam sistem kapitalisme.
Mereka kelas borjuis juga mengaku sebagai bergama, suku, ras dan etnis. Suku Togale tidak punya kesamaan nasib dengan Abdul Gani Kasuba walupun sama-sama orang suku Togale. Karena Abdul Gani Kasuba adalah seorang borjuis.
Begitupun masyarakat akar rumput Fagogoru tidak punya kesamaan nasib dengan Ali Yasin Ali. Karena Wakil Gubernur tersebut merupakan seorang borjuis. Begitupun masyarakat tertindas Makeang, Tidore, dll tidak punya kesamaan nasib dengan elit politik borjuis.
Sebagai orang yang meyakini politik kelas pekerja, penulis berpandangan Politik rasisme yang terus diproduksi oleh kaum borjuis saat ini. Memperlihatkan bagaimana mereka gagal menuntaskan perjuangan demokrasi.
Ketakutan mereka terhadap perjuangan kelas pekerja, membuat mereka dengan senang hati megeksploitasi masyarakat dengan politik rasisme. Perda-perda syariah kemudian dilahirkan. Ini merupakan taktik mereka untuk bersembunyi dibalik agama sekaligus membungkam perlawanan kelas pekerja.
Pertama, politik kelas pekerja mengajak kepada seluruh kaum tertindas yang agama, suku, ras, jenis kelamin, orientasi seksual, kewarganegaraan berbeda untuk menghancurkan akar penindasan dan penderitaannya yaitu kapitalisme.
Kedua, politik kelas pekerja percaya bahwa buruh dan rakyat harus membangun kekuatan politiknya sendiri. Kekuatan politik saat ini ialah Partai Buruh. Partai Buruh adalah satu-satunya partai lolos sebagai peserta pemilu yang berideologi kelas pekerja.
Ketiga, politik kelas pekerja berpandangan bahwa akar dari politik rasisme ialah corak produksi kapitalisme. Sehingga politil rasisme hanya akan menguntungkan kepentingan kelas borjuis. Itulah mengapa perjuangan kelas pekerja lewat kekuatan politik Partai Buruh dalam momentum pesta demokrasi dan seterusnya harus didukung oleh kaum buruh dan dan rakyat jelata agar politik rasisme bisa dihapuskan dan kesejahteraan bisa diwujudkan.